JATIMTIMES - Pada malam 6 Oktober 1899, sebuah peristiwa kecil namun sarat makna mengguncang rumah tangga pemerintahan kolonial di Madiun. Tirai jendela rumah Residen Donner hilang dicuri, bersama beberapa benda kecil tak berharga seperti taplak meja. Sepele? Tidak bagi Donner.
Tirai itu tergantung tepat di jendela tempatnya biasa minum kopi setiap pagi dan sore hari dengan baju tidur. Bagi Residen, ini bukan pencurian biasa, melainkan sebuah pesan politik. “Saya pasti punya musuh di Madiun,” tegasnya kepada Bupati Brotodiningrat.
Baca Juga : Conclave, Rekomendasi Film yang Akhir Pekan tentang Prosesi Pemilihan Paus
Maka dimulailah sebuah rangkaian peristiwa yang kelak akan menumbangkan salah satu priyayi paling berpengaruh di Jawa Timur.
Merangkum berbagai sumber, Bupati Brotodiningrat, yang telah menjabat lebih dari dua dekade di wilayah Madiun dan memiliki pengaruh luas di Ponorogo hingga Magetan, mendadak menjadi pusat tuduhan. Tuduhan itu bermula dari keresahan Residen Donner, yang menganggap pencurian tirai sebagai simbol serangan politik untuk mempermalukannya di depan masyarakat Eropa. Donner menuduh bupati tidak hanya lalai, tetapi menjadi otak di balik jaringan kriminal yang mengganggu keamanan warga Eropa.
Konteks Sosial-Politik Madiun Menjelang 1900
Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada tahun 1849 dari keluarga bangsawan Sumoroto, hasil pernikahan politik antara Raden Tumenggung Brotodirjo—bupati Sumoroto—dan putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Sejak kecil, Brotodiningrat telah mewarisi dua garis darah agung: priyayi daerah dan trah keraton Surakarta. Namun, takdirnya tidak semata ditentukan oleh warisan darah, melainkan oleh kemampuan beradaptasi dengan dunia baru: birokrasi kolonial.
Ketika sang ayah wafat pada 1855, Brotodiningrat masih kanak-kanak. Ia dibawa ke Keraton Surakarta, tempat ia menempuh pendidikan dan formasi etika kebangsawanan, sekaligus dididik dalam sistem kolonial melalui sekolah Belanda dan Sekolah Pejabat Pribumi. Di sinilah ia belajar menyeimbangkan dua dunia: tradisi Jawa dan rasionalitas administratif Eropa.
Karier administratifnya dimulai sejak usia 17 tahun, saat ia menjabat sebagai magang mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, ia naik menjadi Wedana Magetan, lalu Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, pembubaran Kabupaten Sumoroto oleh pemerintah kolonial pada 1877 menandai awal transisi dari kekuasaan lokal berbasis kekerabatan menuju birokrasi mobilitas. Ia dipindah ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885, menandai dirinya sebagai bupati karier sejati.
Madiun pada akhir abad ke-19 bukanlah wilayah yang asing dari praktik kekuasaan lokal yang terjalin rumit antara para priyayi, para pejabat bumiputra, dan kekuasaan kolonial. Di bawah permukaan pemerintahan yang tampak tertib, terjadi pertautan erat antara pejabat kabupaten dan jaringan informal kekuasaan yang melibatkan weri (mata-mata desa), mantan narapidana, mucikari, hingga tokoh keagamaan. Dalam konteks ini, Bupati Brotodiningrat memainkan peran sentral sebagai figur otoritatif yang tidak hanya menguasai administrasi sipil, tetapi juga memelihara jaringan sosial-politik yang kompleks di wilayah Keresidenan Madiun.
Snouck Hurgronje dan Perspektif Kolonial atas Konflik Priyayi
Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat utama urusan pribumi dan Islam di Batavia, bukan sekadar akademisi. Ia adalah perancang kebijakan kolonial yang sangat memahami struktur sosial Jawa. Dalam kasus Madiun, Snouck menilai bahwa angka kriminalitas sejatinya tidak mengalami lonjakan signifikan—hanya saja untuk pertama kalinya para korbannya adalah orang Eropa. Ini menimbulkan kecemasan. Dalam catatan Snouck, kriminalitas terhadap rumah orang Jawa tidak akan pernah menimbulkan “kehebohan” seperti halnya ketika orang kulit putih yang menjadi korban. Maka tindak kriminal ini segera dilihat sebagai ekspresi politik—sebuah bentuk penghinaan simbolik terhadap penguasa kolonial.
Dalam sejarah kolonialisme Belanda di Hindia Timur, nama Christiaan Snouck Hurgronje (1857–1936) terpatri sebagai tokoh kontroversial yang memainkan peran ganda: sebagai sarjana orientalis terkemuka dan sebagai otak strategis dalam penaklukan politik Islam di Nusantara, khususnya Aceh. Kelahirannya di kota Oosterhout, Belanda, pada 8 Februari 1857, tampaknya menjadi pertanda awal bagi kehidupan intelektual yang kelak akan memengaruhi peta kekuasaan imperial di Asia Tenggara.
Snouck memulai studi teologi di Universitas Leiden pada 1874, namun beralih ke studi Islam. Ia meraih gelar doktor pada 1880 dengan disertasi tentang perayaan di Mekah dan menjadi profesor di Sekolah Pegawai Kolonial di Leiden. Ia kemudian menyamar sebagai mualaf asal Sumatera agar bisa masuk Mekah pada 1885, menjalankan haji, dan meneliti kehidupan Islam dari dalam.
Karya-karyanya, termasuk Mekka (1888–1889), menunjukkan pemahaman mendalam tentang Islam, meski penyamarannya memicu kontroversi etika. Pada 1889, ia menjadi penasihat urusan pribumi Hindia Belanda dan merancang kebijakan yang memisahkan Islam sebagai agama dari Islam sebagai kekuatan politik.
Perannya sangat besar dalam Perang Aceh, di mana ia menyarankan strategi adu domba dan penindasan terhadap ulama. Kebijakan ini memperlemah perlawanan Aceh, meski menimbulkan korban besar. Bersama Van Heutsz, Snouck dianggap sebagai arsitek utama penaklukan Aceh.
Donner, Soeradi, dan “Persekongkolan Priayi Hitam”
Seorang narapidana bernama Soeradi, yang kabur dari penjara, dijadikan kambing hitam oleh Bupati Brotodiningrat. Bupati bahkan meminta penghargaan medali bagi polisi-polisi yang dianggap telah “berjasa” dalam penyelesaian kasus. Namun Residen Donner tidak percaya begitu saja. Ia menolak penghargaan itu dan melaporkan bahwa semua ini hanyalah sandiwara. Dalam penyelidikan lanjutan, muncul nama-nama seperti pejabat irigasi, pejabat candu, dan tokoh-tokoh priayi lokal yang bekerja sama dengan mantan narapidana bernama Kartorejo—orang yang ternyata adalah mata-mata polisi resmi yang dibayar dari kas khusus kepolisian keresidenan.
Jaringan ini menurut Donner membentuk semacam “negara dalam negara” di bawah kendali Brotodiningrat. Mereka mampu meneror penduduk, mengatur penjara, dan bahkan menentukan siapa yang ditangkap dan siapa yang dibebaskan. Para saksi penting dalam kasus ini mendadak menghilang. Salah satu dari sedikit narapidana yang bersedia bersaksi pun melarikan diri.
Intervensi Batavia dan Kejatuhan Sang Bupati
Akhir 1899 hingga awal 1900, laporan Residen Donner dikirim ke Batavia. Pemerintah kolonial—melalui Gubernur Jenderal, Direktur Jawatan Sipil, dan Konsili Hindia—merespons dengan mencopot Brotodiningrat dari jabatannya dan mengasingkannya ke Padang. Ia diangkut bersama keluarga dengan pengawalan ketat, sebagai seorang figur yang dianggap terlalu berbahaya untuk dibiarkan tinggal di Jawa.
Namun ini bukan akhir. Penyelidikan terus bergulir di Madiun dan Ponorogo, kali ini menyasar seluruh struktur kekuasaan Brotodiningrat: jaringan weri, para guru spiritual, pengelola kas masjid, bahkan ke pengaruhnya atas para pelacur dan mucikari. Banyak pejabat lokal mendadak sakit, minta cuti, atau menghilang, menyadari bahwa mereka kini berada dalam radar penyelidikan.
Dinamika Peradilan dan Pembelaan Brotodiningrat
Baca Juga : Kaesang Halalbihalal ke Pemkab Malang, Riuh Diajak Selfi dan Diajak Makan Rawon
Dalam atmosfer penuh tekanan ini, Brotodiningrat tak tinggal diam. Ia menghubungi mantan atasannya, Mullemeister, serta meminta bantuan seorang pengacara. Ia juga menyurati Gubernur Jenderal dan Ratu Belanda. Dalam surat kepada Gubernur, ia menegaskan bahwa ia menjadi korban fitnah karena konflik personal dengan Residen Donner. Dalam surat kepada Ratu, ia memohon agar penyelidikan dilakukan secara adil dan tidak berpihak. Ia menuduh keluarga Bupati Magetan sebagai dalang utama yang menyesatkan Residen Donner.
Namun kekuatan Brotodiningrat tidak bisa diremehkan. Intervensi dari Hora Siccama, anggota berpengaruh Konsili Hindia, memunculkan narasi alternatif: bahwa meskipun sang bupati mungkin bersentuhan dengan kalangan “dunia hitam”, tak ada bukti langsung bahwa ia mengatur pencurian tirai atau terlibat dalam kejahatan itu.
Snouck Hurgronje dan Realpolitik Kolonial
Snouck Hurgronje, orientalis sekaligus penasihat utama urusan pribumi dan Islam di Hindia Belanda, menunjukkan kepekaan analitis dalam menanggapi laporan Donner. Ia mencatat bahwa peningkatan kriminalitas yang dilaporkan hanya signifikan ketika menyangkut orang-orang Eropa, sementara kasus serupa yang menimpa warga pribumi tidak pernah menimbulkan kehebohan. Analisis ini menandai pergeseran pendekatan pemerintah kolonial dari sekadar penegakan hukum menuju pemahaman akan dinamika lokal, termasuk konflik elite dan penggunaan aparat sebagai alat kekuasaan.
Brododiningrat dinilai oleh Donner sebagai pemimpin yang membangun rezim terselubung: ia dituduh memelihara jaringan mata-mata dari kalangan mantan narapidana, seperti Kartorejo, serta melibatkan pejabat irigasi dan candu dalam operasi bayangan yang mengontrol aparat resmi, rumah tahanan, bahkan masjid dan guru agama. Penyelidikan menunjukkan bahwa kontrol Brotodiningrat tidak terbatas pada struktur birokrasi, tetapi mencakup jaringan sosial dan spiritual yang sulit disentuh oleh pemerintah kolonial.
Donner lalu mengusulkan agar Brotodiningrat disingkirkan dari kekuasaan. Pemerintah di Batavia menyetujui usulan itu dengan mengasingkan sang bupati ke Padang pada akhir tahun 1899. Keputusan ini menggambarkan strategi administratif kolonial yang berupaya mengisolasi elite lokal tanpa menciptakan gejolak terbuka. Namun penyelidikan terus berlanjut, menjalar ke berbagai kewedanan dan kalangan sosial—dari weri, pelacur, mucikari, hingga pejabat kabupaten.
Snouck memahami bahwa penyelesaian kasus Brotodiningrat tidak bisa diserahkan semata pada mekanisme hukum kolonial. Dalam dokumen internal, ia mendukung pendekatan pragmatis: pemberhentian dengan hormat dan pensiun kecil, tanpa proses pengadilan terbuka yang bisa mempermalukan pemerintah. Prinsip utama kebijakan ini, sebagaimana dikemukakan Snouck, adalah menjaga stabilitas politik lokal dan menghindari pembangkangan terbuka dari kaum priyayi. Jika Brotodiningrat dihukum terlalu keras, ia bisa mengajukan banding dan menciptakan preseden buruk. Maka, lebih baik memberinya pensiun dan melarangnya kembali ke Madiun.
Akhir Sebuah Dinasti Priayi
Pemerintah Hindia Belanda mengikuti rekomendasi Snouck. Pada 1901, Gubernur Jenderal Van der Wijck memutuskan untuk mempensiunkan Brotodiningrat secara terhormat dengan tunjangan sebesar f 250 per bulan. Ia dilarang tinggal di Madiun, namun diizinkan menetap di tempat lain. Dengan keputusan ini, berakhirlah kekuasaan dinasti Brotodiningrat atas Madiun yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade.
Setahun setelah pengasingannya di Padang, Brotodiningrat memilih tinggal di Yogyakarta. Dengan langkah ini, pemerintah kolonial menutup bab gelap yang membayangi relasi kekuasaan antara pusat dan daerah, antara priyayi dan residen, antara Belanda dan Jawa.
Historiografi Kekuasaan dan Kolonialisme
Kasus Brotodiningrat merupakan contoh klasik tentang bagaimana relasi kekuasaan lokal di Jawa tidak pernah benar-benar linear. Ia membentang dalam jaringan kompleks antara elite lokal, mantan narapidana, penguasa spiritual, dan pejabat kolonial. Di tangan Snouck Hurgronje, kita melihat bahwa penyelesaian konflik bukanlah sekadar soal hukum, melainkan tentang bagaimana kekuasaan kolonial memanipulasi, meredam, dan mengatur ulang struktur sosial-politik demi mempertahankan stabilitas.
Historiografi kasus ini menunjukkan bahwa politik kolonial Belanda tidak pernah bebas nilai. Ia bekerja melalui stigma terhadap “priyayi yang tidak bisa dipercaya,” melalui pemberian label terhadap dunia “hitam” yang sesungguhnya menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu sendiri. Dalam sosok Brotodiningrat, kita melihat kompleksitas kekuasaan lokal—setia sekaligus oportunis, tradisional sekaligus manipulatif—dan dalam Snouck Hurgronje, kita melihat wajah kolonialisme yang paling canggih: rasional, sistematis, dan penuh perhitungan.