JATIMTIMES - Di paruh pertama abad ke-17, Mataram telah menjelma sebagai kekuatan dominan di Jawa. Di bawah kepemimpinan Susuhunan Anyakrakusuma—yang kelak dikenal sebagai Sultan Agung—kerajaan ini bukan hanya memperluas wilayahnya, tetapi juga membangun legitimasi kekuasaannya dalam tatanan Islam global. Salah satu puncak pencapaian simbolisnya adalah perolehan gelar Sultan dari Syarif Mekkah pada 1641.
Namun, penganugerahan gelar ini bukan sekadar perkara nama dan kehormatan. Ia adalah bagian dari strategi politik yang kompleks, di mana diplomasi, hubungan dagang, dan rivalitas kekuasaan di Nusantara memainkan peran krusial. Untuk memahami bagaimana gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi akhirnya dianugerahkan kepada Susuhunan Anyakrakusuma, kita harus menelusuri berbagai peristiwa yang mendahuluinya—sejak keinginan Mataram menyaingi Kesultanan Banten hingga peran Inggris dalam memfasilitasi komunikasi dengan dunia Islam.
Baca Juga : Rumah Sedekah NU Gelar Silaturahmi dan Buka Bersama, Bakal Berangkatkan Umrah 9 Anak Yatim
Gelar Pertama Sultan Agung: Pergulatan Takhta dan Legitimasi Kekuasaan
Tahun 1613 adalah awal dari babak baru dalam sejarah Kesultanan Mataram. Panembahan Hanyakrawati, penguasa sebelumnya, telah wafat, meninggalkan persoalan pelik terkait suksesi. Sesuai dengan janji yang pernah diutarakan, takhta seharusnya jatuh ke tangan putra bungsunya, Raden Mas Wuryah atau Raden Martapura, sementara kakaknya, Raden Mas Jatmika (kemudian dikenal sebagai Raden Mas Rangsang), diperkirakan akan menerima takhta setelahnya. Namun, rencana ini tidak berjalan mulus.
Lahir dengan nama Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang, Sultan Agung mewarisi darah ningrat dari dua garis utama: Mataram dan Pajang. Ayahnya, Panembahan Hanyakrawati, adalah putra Panembahan Senapati, pendiri Mataram, sedangkan ibunya, Ratu Mas Adi Dyah Banowati, merupakan keturunan Pangeran Benawa, raja terakhir Kesultanan Pajang.
Lahir di Kotagede pada 14 November 1593, Sultan Agung tumbuh dalam lingkungan aristokrat Jawa yang keras dan penuh intrik politik. Sejak kecil, ia dididik dalam nilai-nilai kepemimpinan, strategi militer, dan mistisisme Jawa. Ketika naik takhta pada tahun 1613 menggantikan ayahnya, Mataram masih berada dalam proses konsolidasi kekuasaan, dengan banyak wilayah yang belum sepenuhnya tunduk
Raden Martapura memang sempat diangkat sebagai raja dalam sebuah upacara resmi. Ia didukung oleh dua tokoh penting Mataram, Ki Adipati Mandaraka dan Pangeran Purbaya. Martapura bahkan sempat duduk di kursi kerajaan dari emas, disambut sorak-sorai para bangsawan dan prajurit yang hadir. Namun, situasi berubah drastis ketika Ki Adipati Mandaraka membisikkan sesuatu kepadanya. Tidak lama setelah itu, Martapura dengan sukarela melepaskan kedudukannya dan menyerahkan takhta kepada kakaknya, Raden Mas Rangsang.
Keputusan ini tentu bukan tanpa alasan. Raden Mas Rangsang lebih matang dan telah berusia sekitar 20 tahun, sementara Martapura masih berusia sekitar 7 hingga 8 tahun. Selain faktor usia, sumber-sumber Jawa menyebutkan bahwa Martapura memiliki kondisi kesehatan yang tidak stabil, terkadang dianggap mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini menjadi alasan kuat bagi para pejabat tinggi istana untuk mempercepat peralihan kekuasaan kepada kakaknya yang lebih siap memimpin.
Meski demikian, transisi ini tidak serta-merta diterima oleh semua pihak. Para pendukung Martapura, terutama dari kalangan keluarga bangsawan dan elite tertentu, menentang keputusan tersebut. Mereka melihat perubahan ini sebagai pelanggaran atas janji Panembahan Hanyakrawati. Namun, perlawanan mereka tidak membuahkan hasil. Raden Mas Rangsang berhasil mengukuhkan posisinya sebagai penguasa baru, menggantikan ayahnya secara penuh.
Setelah resmi naik takhta, Raden Mas Rangsang menerima gelar baru yang mencerminkan statusnya sebagai pemimpin Mataram. Babad Tanah Djawi menyebutkan bahwa gelar pertamanya adalah Prabu Pandita Cakrakusuma, yang memiliki makna mendalam. "Prabu" menunjukkan kedudukannya sebagai raja, "Pandita" melambangkan kebijaksanaan dan kedekatan dengan nilai-nilai spiritual, sementara "Cakrakusuma" mencerminkan pengakuan dari para bangsawan (kusuma).
Namun, sumber lain, termasuk catatan kolonial Belanda dari masa itu, menyebut bahwa gelar pertamanya adalah Panembahan Ingalaga. Istilah "Ingalaga" sendiri berarti "yang gagah di medan perang", sebuah gelar yang menunjukkan sifat kepemimpinan militeristiknya. Bahkan, dalam sebuah surat dari tahun 1622, penguasa Kendal masih menyebutnya sebagai "Raja Ingalaga", menandakan bahwa gelar ini telah digunakan secara luas dalam lingkup pemerintahan Mataram.
Selain itu, Babad Meinsma menyebut gelarnya sebagai Sultan Agung, Raja Ulama Nyakrakusuma, yang menggambarkan kesaktiannya dan kedekatannya dengan tradisi Islam. Gelar ini, meskipun digunakan dalam sumber-sumber sejarah belakangan, tampaknya merupakan atribusi yang lebih bersifat retrospektif.
Seiring dengan perjalanan kepemimpinannya, Raden Mas Rangsang semakin memperkokoh posisinya sebagai penguasa terbesar Mataram. Setelah penaklukan Madura pada tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Agung.
Keinginan Menyamai Banten: Ambisi dan Rivalitas Kekuasaan
Sejak awal abad ke-17, gelar sultan telah menjadi lambang legitimasi keislaman dan kekuasaan di Jawa. Kesultanan Banten, di bawah Pangeran Ratu, lebih dahulu memperoleh gelar ini dari Syarif Mekkah. Pada 1638, Banten menerima gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir beserta sebuah bendera sebagai simbol pengakuan dari dunia Islam. Peristiwa ini menggugah Susuhunan Anyakrakusuma, yang merasa bahwa Mataram, dengan wilayah yang lebih luas dan kekuatan yang lebih besar, juga berhak atas pengakuan serupa.
Dalam dokumen VOC tertanggal 22 Desember 1638 (De Jonge, 1862-1875, V: 236), disebutkan bahwa Susuhunan Anyakrakusuma sangat ingin memperoleh gelar sultan, bahkan dikabarkan sempat mempertimbangkan meminta gelar tersebut dari Raja Banten. Namun, langkah ini dianggap tidak masuk akal, karena pengakuan dari Banten tidak memiliki bobot sebesar pengakuan dari pusat dunia Islam di Mekkah.
Sadar akan pentingnya jalur diplomasi, Mataram mulai mencari cara untuk menghubungi Syarif Mekkah. Salah satu strategi yang ditempuh adalah menjalin hubungan dengan Inggris yang saat itu bermukim di Banten.
Sejak awal abad ke-17, Inggris telah memiliki pos dagang di Banten. Dalam berbagai dokumen sejarah, keberadaan mereka di Jepara dan Banten sering kali menjadi perantara penting dalam hubungan internasional kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada 20 Oktober 1638, Susuhunan Anyakrakusuma mengirimkan utusan kepada orang Inggris di Banten, membawa hadiah berupa pedang dan keris (K.A. No. 1037, hlm. 580-583). Hadiah ini tidak sekadar bentuk keramahan, tetapi juga bagian dari strategi diplomasi untuk memperoleh akses ke jaringan perdagangan dan komunikasi yang dapat menghubungkan Mataram dengan Mekkah.
Pada awal 1639, orang Inggris membawa utusan Mataram ke Surat, India, yang saat itu menjadi salah satu pusat perdagangan Islam dan memiliki jalur langsung ke Mekkah (Daghregister, 20 November 1640). Dari sana, utusan Mataram melanjutkan perjalanan ke Mekkah menggunakan kapal Muslim. Diduga, pada akhir 1638 atau awal 1639 telah terjadi perjanjian antara Mataram dan Inggris mengenai perjalanan ini.
Proses ini tidak berjalan tanpa kendala. VOC, yang berkepentingan mengendalikan akses ke dunia Islam bagi kerajaan-kerajaan di Jawa, sangat memperhatikan perjalanan ini. Namun, berkat hubungan baik dengan Inggris dan jaringan ulama, utusan Mataram akhirnya diterima di Mekkah dan permohonan gelar dikabulkan.
Penganugerahan Gelar: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi
Pada 27 Januari 1641, utusan Mataram kembali ke Nusantara. Mereka tiba di Banten dengan membawa pengakuan resmi dari Syarif Mekkah. Gelar yang dianugerahkan kepada Susuhunan Anyakrakusuma adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi (Daghregister, 30 Oktober 1641).
Selain gelar, utusan tersebut juga membawa berbagai benda simbolis yang mengukuhkan pengakuan dunia Islam terhadap kekuasaan Mataram. Kuluk Mahkota menjadi simbol kepemimpinan Islam yang melekat pada penguasa, menegaskan statusnya sebagai pemimpin yang sah. Bendera dan Pataka melambangkan kedaulatan Mataram sebagai kerajaan Muslim yang diakui, memperkuat legitimasi politik dan religiusnya. Sementara itu, guci berisi air Zamzam menjadi perlambang kesucian dan berkah dari Tanah Suci, menandakan hubungan spiritual yang erat antara Mataram dan pusat peradaban Islam.
Baca Juga : Terus Dilanda Hujan, Kapan Indonesia Memasuki Kemarau? Ini Prediksi BMKG
Guci tersebut, yang dikenal sebagai Enceh Kyai Mendung, kini disimpan di kompleks makam Astana Kasultanagungan di Imogiri. Air zamzam di dalamnya melambangkan bahwa pemimpin Mataram telah memperoleh keberkahan langsung dari pusat dunia Islam.
Dengan gelar ini, Mataram kini resmi menjadi kesultanan, dan Susuhunan Anyakrakusuma kemudian dikenal sebagai Sultan Agung. Namun, gelar ini hanya bertahan selama empat tahun, dari 1641 hingga wafatnya pada 1645. Penerusnya, Amangkurat I, memilih untuk kembali menggunakan gelar susuhunan.
Namun, yang perlu diketahui dan ditegaskan adalah bahwa gelar Sultan Agung, yang kini dikenal luas, sebenarnya merupakan gelar anumerta, bukan gelar yang digunakan semasa hidupnya. Sepanjang pemerintahannya, raja ini memiliki berbagai nama dan gelar, seperti Prabu Pandita Cakrakusuma, Panembahan Ingalaga, dan Susuhunan Agung Anyakrakusuma. Namun, tidak ada catatan sezaman yang menyebut bahwa ia pernah menggunakan nama Agung dalam kehidupan sehari-hari atau dalam administrasi kerajaan.
Setelah Sultan Agung wafat pada 1645, gelar Sultan tidak lagi digunakan di Mataram. Para penerusnya kembali memakai gelar Susuhunan, sesuai dengan tradisi kesultanan yang telah terbentuk. Namun, lebih dari satu abad kemudian, gelar Sultan kembali muncul dalam sejarah Jawa ketika Pangeran Mangkubumi mendirikan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755.
Pemilihan gelar Sultan oleh Mangkubumi bukan sekadar keputusan simbolis, melainkan bagian dari strategi politik dan legitimasi kekuasaan. Setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang mengakhiri Perang Suksesi Jawa III (1749–1755), Mangkubumi mendapatkan wilayah Yogyakarta sebagai kerajaan yang terpisah dari Kasunanan Surakarta. Untuk menegaskan kedaulatannya, ia memilih gelar Sultan agar Yogyakarta diakui sebagai kerajaan mandiri, bukan sekadar kadipaten atau wilayah bawahan Surakarta. Jika ia tetap menggunakan gelar Pangeran Mangkubumi, posisinya akan terlihat lebih rendah dibandingkan Pakubuwono III yang bergelar Susuhunan.
Selain menegaskan kedaulatan, gelar Sultan juga memiliki makna religius yang lebih kuat dibanding Susuhunan atau Panembahan. Mangkubumi ingin memperkuat citranya sebagai pemimpin Islam yang sah, sekaligus mendapatkan dukungan dari ulama dan masyarakat Muslim Jawa. Langkah ini mengikuti jejak Sultan Agung yang sebelumnya juga menggunakan gelar Sultan untuk memperkuat legitimasi religius Kesultanan Mataram.
Di luar Jawa, pemakaian gelar Sultan juga menghubungkan Yogyakarta dengan kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara, seperti Banten, Cirebon, dan Palembang, serta dengan tradisi Islam global, termasuk Kesultanan Utsmaniyah di Turki. Dengan demikian, Yogyakarta bukan hanya dipandang sebagai kelanjutan dari Mataram, tetapi juga sebagai bagian dari jaringan kesultanan Islam yang lebih luas.
Selain itu, pemilihan gelar Sultan juga menjadi cara Mangkubumi untuk membedakan Yogyakarta dari Surakarta. Kasunanan Surakarta tetap mempertahankan gelar Susuhunan, yang telah menjadi tradisi di lingkungan Mataram. Dengan mengambil gelar Sultan, Mangkubumi menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki identitas politik dan kultural yang berbeda, serta legitimasi tersendiri di mata rakyatnya.
Dengan demikian, pemilihan gelar Sultan oleh Mangkubumi bukan hanya sekadar pergantian nama, tetapi merupakan langkah strategis yang memperkuat posisi Yogyakarta sebagai kerajaan yang berdaulat, berakar pada tradisi Islam, dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara. Gelar ini kemudian diwariskan turun-temurun dalam dinasti Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang.
Penganugerahan gelar sultan memperkuat posisi Mataram sebagai kekuatan Islam terbesar di Jawa. Dalam berbagai catatan, disebutkan bahwa Sultan Agung kemudian semakin menonjolkan aspek keislaman dalam pemerintahannya. Legenda mengenai kehadirannya di Mekkah setiap Jumat untuk shalat di Masjidil Haram (Rinkes, 1910-1913, IV: 496) menjadi bagian dari narasi yang memperkuat citranya sebagai pemimpin spiritual sekaligus politik.
Perolehan gelar ini juga menunjukkan bahwa Mataram mampu memanfaatkan kekuatan asing untuk kepentingannya sendiri. Hubungan dengan Inggris, meski tidak selalu stabil, terbukti memberikan manfaat dalam menghubungkan Mataram dengan dunia Islam. Di sisi lain, VOC merasa semakin terancam dengan penguatan simbolis Mataram sebagai kesultanan yang diakui secara internasional.
Banten, yang lebih dahulu memperoleh gelar sultan, kini memiliki pesaing yang setara dalam hal legitimasi keislaman. Rivalitas antara dua kerajaan ini semakin tajam, terutama dalam upaya mendapatkan dukungan dari dunia Islam dan dalam perebutan pengaruh di pesisir utara Jawa.
Penganugerahan gelar Sultan bagi Susuhunan Anyakrakusuma bukan sekadar perubahan nama. Ia adalah hasil dari strategi diplomasi yang matang, upaya membangun legitimasi keislaman, serta bagian dari rivalitas politik di Nusantara. Dengan gelar ini, Mataram memperoleh pengakuan sebagai kesultanan yang sah dalam tatanan Islam global.
Namun, setelah wafatnya Sultan Agung pada 1645, penerusnya memilih untuk kembali menggunakan gelar susuhunan, menandakan bahwa aspek politik dan tradisi Jawa tetap dominan dalam struktur kekuasaan Mataram. Meski demikian, warisan simbolik dari gelar ini tetap bertahan, membentuk narasi sejarah yang menegaskan bahwa pada masa kejayaannya, Mataram bukan hanya kerajaan terbesar di Jawa, tetapi juga bagian dari komunitas Islam internasional.
Dengan demikian, penganugerahan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi kepada Susuhunan Anyakrakusuma bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan momen penting dalam historiografi politik Islam di Nusantara.