JATIMTIMES - Era peralihan dari Majapahit ke Demak bukan hanya merupakan pergolakan politik semata, tetapi juga menjadi ajang pertempuran ideologi, spiritualitas, dan kepemimpinan keagamaan. Di tengah pergeseran besar yang mengguncang tanah Jawa, dua tokoh mencuat dengan narasi yang saling berseberangan: Sunan Kudus, seorang wali berpengaruh dalam jaringan Wali Songo, dan Ki Ageng Pengging, pemimpin karismatik yang dituduh sebagai pemberontak oleh Kesultanan Demak.
Historiografi mengenai hubungan keduanya penuh dengan kontradiksi, sebagaimana tergambar dalam berbagai sumber seperti Serat Kandaning Ringgit Purwa, Babad Tanah Jawi, Babad Pengging, serta berbagai catatan kolonial dan orientalis seperti Th.G.Th. Pigeaud dalam Literature of Java.
Baca Juga : Pemilu dan Oligarki: Analisis Ekonomi Politik Atas Konsolidasi Kekuasaan
Dalam berbagai narasi ini, peristiwa eksekusi Ki Ageng Pengging oleh Sunan Kudus bukan sekadar tindakan politik, tetapi juga menyimpan lapisan makna spiritual yang lebih dalam.
Seiring melemahnya Majapahit, Kesultanan Demak, di bawah kepemimpinan Raden Patah dan kemudian Sultan Trenggana, berupaya memperluas pengaruhnya. Dalam upaya itu, Demak tidak hanya menghadapi ancaman dari sisa kekuatan Majapahit, tetapi juga dari internalnya sendiri—terutama dari kelompok-kelompok yang memiliki interpretasi berbeda dalam memahami Islam dan kekuasaan.
Ki Ageng Pengging, yang dikenal sebagai seorang pemimpin berwibawa di wilayah Pengging, adalah salah satu tokoh yang berada di luar orbit utama kekuasaan Demak. Pengging sendiri merupakan sebuah wilayah yang memiliki akar kuat dalam tradisi Hindu-Buddha, tetapi juga menjadi pusat Islam yang berkembang melalui ajaran Syaikh Siti Jenar.
Dalam catatan yang ada, Ki Ageng Pengging tidak hanya dikenal sebagai pemimpin wilayah, tetapi juga seorang pengikut ajaran Syech Siti Jenar. Ajaran ini—yang sering dikaitkan dengan konsep manunggaling kawula gusti (persatuan hamba dengan Tuhan)—dipandang bertentangan dengan doktrin Islam ortodoks yang dianut oleh para Wali Songo dan Kesultanan Demak.
Di sisi lain, Sunan Kudus adalah seorang ulama besar yang memiliki pengaruh kuat dalam jaringan Wali Songo. Selain dikenal sebagai ahli fikih dan tauhid, ia juga berperan sebagai panglima dalam ekspedisi militer Kesultanan Demak. Ketegasan dan sikapnya yang kokoh dalam menegakkan syariat Islam membuatnya berhadapan dengan kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran utama.
Sebelum bersinggungan dengan Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus sudah lebih dulu terlibat dalam berbagai konflik militer. Ia memimpin barisan santri dalam ekspedisi penaklukan Majapahit di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana.
Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, diceritakan bahwa Sunan Kudus mendapatkan berbagai pusaka dari para wali, seperti Ki Suradadi dari Sunan Giri, badong bertuah dari Sunan Gunung Jati, serta peti pusaka dari Adipati Palembang yang memiliki kekuatan supranatural. Ketika pasukan Demak bertempur melawan Majapahit, pusaka-pusaka ini menjadi faktor penting dalam menciptakan ketakutan di pihak lawan.
Adipati Terung, yang merupakan bagian dari pasukan Majapahit, memilih untuk tidak ikut serta dalam pertempuran setelah mengetahui bahwa menantunya, Raden Jakfar Shadiq (Sunan Kudus), memimpin barisan santri. Ketakutan dan ketidakyakinan dalam menghadapi kekuatan pasukan Demak yang didukung oleh para wali menyebabkan Majapahit mengalami kekalahan besar.
Setelah kemenangan ini, Demak memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah kendali Majapahit. Namun, bukan berarti kekuasaan Demak tidak mendapat perlawanan. Sisa-sisa kekuatan Majapahit masih bertahan di beberapa daerah seperti Sengguruh, Tengger, dan Pasuruan.
Pemberontakan Ki Ageng Pengging dan Eksekusi oleh Sunan Kudus
Ki Ageng Pengging, atau Raden Kebo Kenanga, adalah putra dari Andayaningrat, Adipati Pengging yang gugur dalam perang antara Demak dan Majapahit. Yang menarik, dalam pertempuran itu, Andayaningrat bertarung satu lawan satu dengan Sunan Ngudung, ayah dari Sunan Kudus. Pertempuran tersebut menjadi simbol benturan besar antara dua kekuatan, yakni sisa-sisa kekuasaan Majapahit dan pengaruh Islam yang semakin kuat di tanah Jawa.
Sebagai bagian dari keluarga kerajaan Majapahit, Andayaningrat menikah dengan Retna Pembayun, putri Prabu Brawijaya V dari pernikahannya dengan Dewi Dwarawati. Dari pernikahan ini, lahir tiga orang putra: Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga—yang kelak dikenal sebagai Ki Ageng Pengging—dan Raden Kebo Amiluhur, yang meninggal di usia muda. Raden Kebo Kenanga tumbuh dalam lingkungan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai Majapahit, meskipun Islam mulai berkembang pesat di tanah Jawa.
Baca Juga : Langkah Strategis Unisba Blitar: Prodi Perbankan Syariah Jalani Asesmen Akreditasi
Pada masa Ki Ageng Pengging, wilayah Pengging dikenal sebagai salah satu pusat yang menentang ekspansi Kesultanan Demak. Ketegangan semakin memuncak ketika ia menolak untuk menghadap Sultan Demak dan memilih untuk berguru kepada Syech Siti Jenar, sosok ulama yang dikenal memiliki ajaran Islam berbeda dari Wali Songo pada umumnya. Kedekatannya dengan Syech Siti Jenar membuat Ki Ageng Pengging semakin dipandang sebagai ancaman oleh pihak Demak.
Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, Babad Tanah Jawi, serta Babad Pengging, diceritakan bahwa Sultan Demak melihat Ki Ageng Pengging sebagai ancaman yang harus ditumpas. Tuduhan bahwa Ki Ageng Pengging sedang merencanakan pemberontakan semakin diperkuat dengan keterkaitannya dengan ajaran Syech Siti Jenar, yang dianggap berbahaya bagi stabilitas Kesultanan Demak.
Sunan Kudus ditugaskan untuk menindak Ki Ageng Pengging. Dalam pertemuan mereka di Pengging, terjadi perdebatan panjang mengenai ajaran yang diikuti oleh Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus menuduhnya menyebarkan ajaran yang menyesatkan dan menantang otoritas kesultanan. Ki Ageng Pengging, di sisi lain, dengan tegas menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa dirinya hanya mengikuti jalan kebenaran.
Dikisahkan bahwa akhirnya Ki Ageng Pengging meminta Sunan Kudus untuk mengeksekusinya dengan cara menyayat sikunya dengan keris. Ia meyakini bahwa dirinya telah mencapai tingkat spiritual tertentu di mana kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang ditakuti. Setelah Sunan Kudus melaksanakan eksekusi, Ki Ageng Pengging wafat dengan tenang, sementara Sunan Kudus segera meninggalkan tempat itu dengan mengucapkan salam.
Eksekusi Ki Ageng Pengging juga tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas, yakni penindakan terhadap Syech Siti Jenar. Sebagaimana diceritakan dalam berbagai babad, Syech Siti Jenar juga dijatuhi hukuman mati oleh para wali di Masjid Agung Demak. Namun, kematiannya menyisakan misteri, karena yang ditemukan di tempat eksekusi bukanlah jasadnya, melainkan bangkai seekor anjing yang diyakini sebagai penjelmaan Syech Siti Jenar.
Babad Cerbon dan Pustaka Nagarakretabhumi bahkan menyebut bahwa Sunan Kudus menggunakan pusaka Kantanaga, milik Sunan Gunung Jati, dalam eksekusi tersebut. Hal ini memperlihatkan betapa eksekusi terhadap Ki Ageng Pengging dan Syech Siti Jenar bukan hanya sekadar hukuman politik, tetapi juga merupakan bagian dari upaya penguatan ortodoksi Islam yang dilakukan oleh Wali Songo.
Peristiwa yang melibatkan Sunan Kudus dan Ki Ageng Pengging terus menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan. Apakah Ki Ageng Pengging benar-benar seorang pemberontak, ataukah ia hanyalah korban dari persaingan kekuasaan? Apakah ajaran Syech Siti Jenar memang dianggap sesat oleh semua wali, ataukah ada dimensi politik yang melatarbelakanginya?
Dalam perspektif historiografi modern, kisah ini mencerminkan bagaimana agama dan politik di masa itu tidak bisa dipisahkan. Demak, sebagai kekuatan Islam pertama di Jawa, harus menghadapi berbagai tantangan dalam membangun otoritasnya, baik dari sisa-sisa Majapahit maupun dari kelompok-kelompok Islam yang memiliki pemahaman berbeda.
Warisan Sunan Kudus tetap dikenang sebagai salah satu tokoh besar dalam penyebaran Islam di Jawa, sementara kisah Ki Ageng Pengging dan Syech Siti Jenar terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat, baik sebagai simbol perlawanan maupun sebagai bagian dari kompleksitas sejarah Islam di Nusantara.