JATIMTIMES - Pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit tengah berada dalam situasi yang penuh gejolak. Meninggalnya Jayanegara, penguasa kedua Majapahit, meninggalkan kekosongan kekuasaan yang hanya bisa diisi oleh sosok berkarisma tinggi.
Di tengah situasi ini, muncul seorang perempuan penguasa yang mencatatkan namanya dalam sejarah: Tribhuwana Wijayatunggadewi. Sebagai penguasa wanita Majapahit, Tribhuwana tampil sebagai pemimpin tegas yang tak gentar turun langsung ke medan perang untuk menyelesaikan konflik internal kerajaan.
Baca Juga : Jejak Sejarah Rumah Eyang Ndoro Tedjo: Napak Tilas Kiprah Wedana Pertama Srengat
Dalam narasi sejarah Jawa yang kaya akan simbolisme dan heroisme, tindakan Tribhuwana Wijayatunggadewi ini bukan sekadar anomali, melainkan representasi kepemimpinan perempuan di kerajaan-kerajaan Nusantara. Kisah ini bukan hanya sekadar dongeng dalam babad, tetapi didukung oleh catatan sejarah seperti Pararaton dan prasasti-prasasti sezaman yang merekam peristiwa pemberontakan Sadeng-Keta pada masa pemerintahannya.
Latar Belakang Tribhuwana Wijayatunggadewi: Seorang Putri dengan Warisan Besar
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah putri dari pendiri Majapahit Raden Wijaya dan Gayatri Rajapatni, seorang wanita dari wangsa Singasari. Sebelum berkuasa, Tribhuwana berada dalam bayang-bayang kakaknya, Jayanegara, yang memerintah Majapahit sejak 1309.
Pemerintahan Jayanegara dikenal penuh intrik dan ketidakstabilan, yang berpuncak pada pemberontakan Ra Kuti dan akhirnya berakhir dengan pembunuhan Jayanegara oleh tabib istana, Tanca, pada tahun 1328.
Sepeninggal Jayanegara, Majapahit menghadapi krisis kepemimpinan. Gayatri Rajapatni, sebagai ibu dari Tribhuwana, seharusnya naik tahta, tetapi ia telah memilih menjadi bhiksuni. Oleh sebab itu, Tribhuwana Wijayatunggadewi ditunjuk sebagai pemimpin Majapahit pada tahun 1329, dengan gelar resmi Bhre Kahuripan.
Masa awal pemerintahannya tidak mudah. Selain harus memulihkan stabilitas kerajaan, Tribhuwana dihadapkan pada persoalan serius: pemberontakan Sadeng dan Keta, dua wilayah bawahan Majapahit di pesisir utara Jawa.
Pemberontakan Sadeng-Keta: Ujian Awal Kepemimpinan Tribhuwana
Sadeng dan Keta adalah dua wilayah yang sebelumnya tunduk pada kekuasaan Majapahit. Namun, setelah kematian Jayanegara, muncul kekuatan-kekuatan lokal yang mencoba melepaskan diri dari kendali pusat. Pemberontakan ini tidak hanya mengguncang Majapahit secara politik, tetapi juga mengancam wibawa kerajaan di mata negeri-negeri bawahan lainnya.
Di tengah situasi tersebut, Mahapatih Aria Tadah—pejabat tertinggi di bawah raja—tidak mampu menjalankan tugasnya akibat penyakit yang dideritanya. Kekosongan ini memaksa Tribhuwana untuk turun tangan secara langsung.
Dalam studi kasus semacam ini, aspek psikologis dan sosiopolitik di balik pemberontakan patut dicermati. Sadeng dan Keta, sebagai daerah pesisir, memiliki kepentingan ekonomi yang signifikan. Potensi perdagangan dan kekayaan laut di wilayah tersebut menjadikannya sasaran tarik-menarik kekuasaan antara lokal dan pusat. Dengan perspektif ini, pemberontakan Sadeng-Keta tidak semata-mata merupakan konflik militer, melainkan wujud resistensi terhadap kontrol pusat Majapahit.
Persaingan di Kalangan Panglima: Gajah Mada, Ra Kembar, dan Adityawarman
Dalam upaya memadamkan pemberontakan, Tribhuwana tidak bekerja sendirian. Ia mempercayakan tugas militer ini kepada para panglima terbaik Majapahit pada masa itu: Ra Kembar, Gajah Mada, dan Adityawarman. Namun, upaya ini justru menimbulkan masalah baru. Alih-alih bersatu, para panglima tersebut justru terlibat dalam persaingan sengit untuk mendapatkan pengakuan tertinggi.
Catatan Pararaton menyebutkan bahwa terjadi persaingan tajam antara Gajah Mada dan Ra Kembar untuk memperebutkan posisi panglima utama dalam penumpasan Sadeng-Keta. Sementara itu, Adityawarman—sepupu Tribhuwana—menjabat sebagai wreddhamantri (perdana menteri) dan memainkan peran penting dalam stabilitas pemerintahan.
Situasi ini memaksa Tribhuwana untuk mengambil keputusan drastis. Dalam sebuah langkah berani dan jarang terjadi di kerajaan besar Nusantara, ia memutuskan untuk memimpin perang secara langsung. Tindakan ini bukan hanya menunjukkan ketegasan seorang pemimpin perempuan, tetapi juga kepercayaan Tribhuwana terhadap kemampuannya sebagai komandan perang.
Tribhuwana Wijayatunggadewi di Medan Perang
Baca Juga : Beredar Rumor Shin Tae-yong Dipecat dari Pelatih Timnas Indonesia, Benarkah?
Keputusan Tribhuwana untuk turun langsung ke medan perang menandai momen penting dalam sejarah Majapahit. Sebagai seorang ratu, kehadirannya di medan tempur bukanlah simbolis semata, melainkan sebuah strategi untuk meredam persaingan internal di antara para panglima dan memastikan operasi militer berjalan sesuai rencana.
Dalam kepemimpinannya, Tribhuwana berhasil mengoordinasikan kekuatan militer Majapahit. Gajah Mada, meskipun sempat bersaing dengan Ra Kembar, akhirnya tampil sebagai tokoh kunci yang membantu memenangkan pertempuran ini. Pertempuran Sadeng-Keta pun berakhir dengan kemenangan mutlak Majapahit. Para pemberontak ditaklukkan dan wibawa Majapahit sebagai kerajaan besar kembali dipulihkan.
Peristiwa ini bukan hanya menegaskan kemampuan Tribhuwana sebagai pemimpin perang, tetapi juga menjadi batu loncatan bagi Gajah Mada. Keberhasilan ini turut mengantar Gajah Mada ke posisi yang lebih tinggi, hingga akhirnya ia diangkat menjadi mahapatih amangkubhumi pada tahun 1334, menggantikan Aria Tadah.
Dampak Kemenangan: Tribhuwana dan Pengangkatan Gajah Mada
Kemenangan atas pemberontakan Sadeng-Keta menjadi tonggak penting dalam sejarah Majapahit. Tribhuwana Wijayatunggadewi berhasil membuktikan dirinya sebagai pemimpin kuat yang mampu mengatasi krisis politik dan militer. Lebih dari itu, ia berhasil mengonsolidasikan kekuasaan Majapahit, sekaligus membuka jalan bagi ekspansi yang lebih luas.
Pengangkatan Gajah Mada sebagai Mahapatih menandai dimulainya era baru dalam sejarah Majapahit. Pada masa inilah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, sebuah janji untuk menaklukkan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit. Dalam konteks ini, kepemimpinan Tribhuwana bukan hanya menyelamatkan Majapahit dari kehancuran, tetapi juga mempersiapkan panggung bagi kebangkitan kerajaan ini menuju puncak kejayaannya pada masa Hayam Wuruk.
Tribhuwana Wijayatunggadewi: Pemimpin yang Visioner
Kisah Tribhuwana Wijayatunggadewi tidak sekadar menceritakan seorang ratu yang memimpin peperangan, tetapi juga menggambarkan peran perempuan dalam politik dan militer kerajaan Nusantara. Keputusannya untuk turun langsung ke medan perang menunjukkan keberanian, strategi, dan ketajaman politik yang luar biasa.
Sebagai seorang pemimpin, Tribhuwana tidak hanya mengatasi pemberontakan Sadeng-Keta, tetapi juga menanam fondasi kuat bagi stabilitas dan ekspansi Majapahit. Di bawah kepemimpinannya, tokoh-tokoh penting seperti Gajah Mada dan Adityawarman mulai muncul dan memainkan peran signifikan dalam sejarah kerajaan ini.
Sejarah mencatat Tribhuwana Wijayatunggadewi sebagai ratu yang tidak hanya memerintah dari balik dinding istana, tetapi sebagai pemimpin yang berani mengambil risiko demi stabilitas dan kejayaan kerajaannya. Dalam perspektif sejarah kritis ala Peter Carey, sosok Tribhuwana adalah cerminan kepemimpinan yang adaptif dan strategis di tengah kompleksitas politik Jawa abad ke-14.
Tribhuwana Wijayatunggadewi bukan hanya ratu Majapahit, melainkan simbol kekuatan perempuan dalam sejarah Nusantara—sebuah warisan yang tetap hidup hingga hari ini.