JATIMTIMES - Harapan yang berbeda untuk menjadi pria ideal seringkali membuat seseorang merasa tersesat dan bingung tentang bagaimana mereka harus bertindak. Alhasil, beberapa orang terlalu memaksakan diri hingga akhirnya menjadi pribadi yang toxic masculinity.
Toxic masculinity seringkali dianggap remeh hanya karena korbannya bukanlah seorang perempuan.
Baca Juga : Mengenal Generasi Strawberry yang Disebut Kreatif Namun Sangat Rapuh
Sebab, beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa seorang laki-laki haruslah selalu tangguh dan tidak pernah menangis. Oleh karena itu, tak jarang para kaum laki-laki sering mengidap toxic masculinity.
Pengertian Toxic Masculinity
Melansir laman Alodokter yang ditinjau langsung oleh dr. Kevin Adrian, toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya pria harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi.
Pada dasarnya, maskulin merupakan sebuah karakteristik yang baik. Namun, hal ini menjadi toxic atau salah arah ketika pria dituntut harus memiliki dan menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma “laki-laki lemah”.
Padahal, seorang pria juga bisa saja memiliki sifat yang lembut atau gentle, ramah, atau sensitif, dan hal ini bukanlah hal yang salah pada pria.
Ciri-Ciri Toxic Masculinity
• Tidak menunjukkan emosi sedih dan mengeluh, serta menganggap bahwa pria hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah
• Tidak membutuhkan kehangatan atau kenyamanan
• Tidak perlu menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapa pun
• Harus memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain
• Berperilaku kasar dan agresif, serta mendominasi orang lain, khususnya wanita
• Tendensi untuk bersikap misoginis
• Cenderung melakukan aktivitas seksual dengan kasar
• Menganggap “keren” kebiasaan yang tidak sehat, seperti merokok, minum minuman beralkohol, bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang
• Heteroseksisme dan homofobia.
Dampak Toxic Masculinity
Toxic masculinity ini akan mengganggu kesehatan mental laki-laki karena hal ini dapat membatasi definisi sifat seorang laki-laki dan mengekang pertumbuhannya dalam bermasyarakat.
Pembatasan sifat ini akan memberikan beban terhadap laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas.
Apabila seorang laki-laki dibesarkan melalui pandangan sempit toxic masculinity, mereka hanya akan merasa diterima masyarakat jika sudah memenuhi standar maskulinitas yang berlebihan.
Hal ini dapat memicu gangguan kesehatan mental seperti:
Baca Juga : Kisah Masinis Pertama Kemudikan Kereta Api Eksekutif Gajayana
- Seorang laki-laki lebih memilih untuk memendam emosinya daripada meminta pertolongan
- Seorang laki-laki lebih rentan mengidap depresi
- Seorang laki-laki rentan mendapatkan trauma psikologis
- Seorang laki-laki lebih rentan untuk bunuh diri.
Cara Mencegah Toxic Masculinity
1. Ajarkan untuk bisa mengekspresikan diri
Ajarkan anak untuk bisa merasakan dan mengekspresikan berbagai emosi yang ia rasakan. Beri tahu padanya bahwa tidak ada salahnya bagi anak laki-laki untuk mengungkapkan keluh kesah serta menunjukkan rasa sedih dan menangis.
Jika ia merasa malu untuk menangis di tempat umum, berikanlah pemahaman bahwa ia boleh menangis ketika sedang sendiri atau di sekitar orang yang ia percayai, misalnya orang tua, guru, atau pengasuhnya.
2. Tumbuhkan rasa empati
Empati pada anak laki-laki tidak muncul begitu saja, melainkan perlu dilatih. Dengan memiliki empati, anak akan bisa memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, serta dapat mengontrol emosinya dengan baik. Hal ini pun dapat mencegah mereka dari pola pikir toxic masculinity ketika beranjak dewasa.
Ajarkan anak nilai kesopanan dan mengajaknya untuk bisa memposisikan dirinya sebagai orang lain. Berikan juga ia pengertian tentang pentingnya menunjukkan kepedulian dan rasa hormat terhadap orang lain, terlepas dari gender, jenis kelamin, atau latar belakang suku dan agama orang tersebut.
3. Hindari perkataan yang merendahkan perempuan
Sebisa mungkin hindari perkataan yang terkesan merendahkan perempuan, misalnya “Cara jalanmu seperti perempuan” atau “Jangan berbicara seperti perempuan”. Ini akan membuat anak laki-laki memandang perempuan sebelah mata dan sulit untuk menghargai perempuan.
4. Awasi media hiburan anak
Pantau media hiburan yang diberikan pada anak, baik itu buku, film, gadget, atau lainnya. Pastikan konten tidak bersifat toxic masculinity. Apabila tontonan atau hiburan anak menunjukkan adanya konsep maskulinitas yang salah, berikanlah pemahaman bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang patut untuk dicontoh.
Toxic masculinity tentu bukanlah sikap yang baik untuk dilakukan. Selain membuat pria memiliki beban sosial, konsep ini juga membuat mereka cenderung memelihara sikap negatif, seperti tidak mau meluapkan emosinya atau sulit mencari katarsis, dan hal ini bisa berisiko merusak kesehatan mentalnya.
Oleh karena itu, sadarilah ciri-ciri toxic masculinity dan lakukan cara di atas untuk mencegahnya, terutama pada anak-anak. Tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan pria, pemahaman maskulinitas yang sehat juga bisa dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Jika kamu terjebak dalam toxic masculinity hingga merasa kualitas hidupmu sampai terganggu atau sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih dengan kaum wanita, mungkin ada baiknya kamu berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapatkan saran yang tepat dan bimbingan guna mengubah sifat buruk ini.