JATIMTIMES - Nama Thomas Trikasih Lembong atau yang akrab disapa Tom Lembong, menjadi sorotan di platform X (sebelumnya Twitter) hingga Rabu (30/10) pagi. Namanya menjadi sorotan setelah Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin impor gula kristal mentah. Mantan Menteri Perdagangan ini diduga menyalahgunakan wewenang dengan memberi izin impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton.
“Saudara TTL diduga mengeluarkan izin impor gula kristal mentah sebesar 105 ribu ton kepada PT AP, yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih,” jelas Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, sebagaimana dikutip Antara, Rabu (30/10).
Menurut aturan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian nomor 257 Tahun 2004, Abdul menegaskan bahwa hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diizinkan mengimpor gula kristal putih. Namun, pada kenyataannya, izin impor tersebut justru dikeluarkan untuk PT AP oleh Tom Lembong.
"Proses impor ini tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait dan tidak ada rekomendasi dari Kementerian Perindustrian untuk mengetahui kebutuhan gula secara riil di dalam negeri," tambah Abdul.
Kemudian pada 28 Desember 2015, telah dilakukan rapat koordinasi di bidang perekonomian, yang dihadiri oleh berbagai kementerian di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Salah satu agenda yang dibahas adalah kekurangan pasokan gula kristal putih sebanyak 200 ribu ton pada tahun 2016, yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas harga gula dan mencukupi stok nasional.
Lebih lanjut, pada periode November hingga Desember 2015, tersangka lain, yakni CS yang menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), meminta seorang manajer senior bernama P untuk mengadakan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di sektor gula.
"Pertemuan itu melibatkan delapan perusahaan yang sebenarnya izin industrinya hanya untuk produksi gula kristal rafinasi yang seharusnya digunakan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi," jelas Abdul.
Idealnya, untuk pemenuhan stok gula nasional, impor seharusnya dilakukan dengan membawa masuk gula kristal putih secara langsung, dan impor itu hanya boleh dilakukan oleh BUMN. Namun, kedelapan perusahaan swasta ini mengimpor gula kristal mentah, yang kemudian mereka proses menjadi gula kristal putih.
Setelahnya, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal kenyataannya gula itu dijual oleh perusahaan swasta langsung ke masyarakat melalui distributor dengan harga yang jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
"Gula ini dijual melalui distributor yang terkait dengan perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga mencapai Rp26 ribu per kilogram, lebih tinggi dari HET saat itu yang ditetapkan sebesar Rp13 ribu per kilogram, dan tanpa ada langkah operasi pasar," papar Abdul Qohar.
Abdul Qohar juga menegaskan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan bukti yang jelas dan tidak pandang bulu. “Siapa pun pelakunya, jika ada bukti yang cukup, penyidik pasti akan menetapkannya sebagai tersangka,” ungkapnya.
Penyidikan kasus impor gula ini sudah berjalan sejak Oktober 2023, dan dalam kurun waktu satu tahun, tim penyidik telah memeriksa sekitar 90 saksi terkait kasus ini. Abdul menjelaskan bahwa kasus ini cukup kompleks dan memerlukan waktu karena melibatkan banyak pihak serta membutuhkan penghitungan kerugian negara.
“Penyidikan ini tidak berhenti di sini saja. Kami juga meminta penghitungan kerugian negara dan melibatkan para ahli untuk memastikan kasus ini terungkap secara komprehensif. Inilah mengapa prosesnya memakan waktu cukup lama,” tambah Abdul Qohar.
Tim Kejagung telah mengamankan sejumlah barang bukti berupa catatan, dokumen, keterangan saksi, dan pernyataan ahli. "Semua barang bukti sudah lengkap. Kami tahu siapa saja yang terlibat dan apa perannya masing-masing," ujar Abdul menutup keterangannya.
