JATIMTIMES - Belakangan ini, tren doom spending tengah viral dan banyak dibicarakan publik. Tren tersebut disebut-sebut sebagai pemicu generasi Z (kelahiran 1997-2012) dan milenial (kelahiran 1981-1996) terjebak dalam masalah ekonomi dan keuangan.
Doom spending dianggap sebagai cara baru untuk meredakan stres akibat berbagai masalah, seperti ekonomi, pendidikan, dan politik.
Baca Juga : Dinas PU SDA Siapkan Opsi Bangun Bendungan, Atasi Kekeringan Umbul Sengkaring Malang
Dengan memanjakan diri melalui belanja, banyak orang berharap dapat mengatasi tekanan dan ketidakpastian yang mereka hadapi.
Terlepas dari viralnya fenomena tersebut di media sosial, apa sebenarnya yang dimaksud dengan doom spending? Berikut penjelasan lengkapnya.
Apa Itu Fenomena Doom Spending?
Menurut firma kurator kepailitan, Allan Marshall & Associates Inc, doom spending adalah tindakan mengeluarkan uang secara impulsif atau berlebihan ketika seseorang sedang stres atau cemas. Pengeluaran yang sia-sia tersebut sering kali menjadi salah satu langkah yang diambil selama masa ekonomi sulit, seperti krisis global, masalah pribadi, atau memandang masa depan yang tidak pasti.
Terdapat beberapa faktor psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan doom spending, salah satunya adalah kepuasan instan. Hal itu terjadi karena otak manusia suka mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit.
Dengan menghabiskan uang untuk hal-hal yang diinginkan, memacu produksi hormon dopamin yang menyebabkan rasa senang. Pelarian sementara dari stres dan kecemasan itu mendorong seseorang untuk terus belanja.
Kemudian, doom spending juga dipengaruhi oleh media sosial yang kerap kali menampilkan kemewahan dan kesuksesan orang lain. Perbandingan diri-sendiri dengan orang lain tersebut dapat menciptakan tekanan untuk bersaing. Akibatnya, seseorang mungkin rela menghabiskan uang melebihi kemampuan untuk memenuhi harapan masyarakat.
Dampak Negatif Doom Spending
1. Penumpukan Utang
Pengeluaran impulsif yang sering dilakukan dapat dengan cepat menambah utang dan tekanan finansial. Suku bunga yang tinggi juga dapat memperburuk kondisi keuangan. Akibatnya, seseorang kemungkinan besar akan terjerat siklus “gali lubang, tutup lubang” untuk mengatasi masalah utang yang terus menumpuk dan berimbas pada kebangkrutan.
2. Merusak Tujuan Keuangan
Uang yang dibelanjakan untuk barang-barang tidak penting dapat menunda atau menggagalkan tujuan keuangan. Akibat fenomena doom spending, impian gen Z dan milenial untuk membeli rumah, menabung demi masa pensiun, atau menyimpan dana darurat akan semakin sukar dilakukan.
3. Beban Emosional
Baca Juga : Siapa Clara Wirianda? Wanita yang Disebut-sebut Punya Hubungan dengan Bobby Nasution
Rasa senang sementara lantaran berbelanja kerap kali juga diikuti dengan masalah kesehatan mental. Alih-alih menghadirkan rasa senang, kecemasan terhadap keamanan finansial akan semakin meningkat dan dapat menyebabkan perasaan negatif yang terus bermunculan karena menuruti keinginan sesaat.
Cara Mengatasi Doom Spending
Menurut Ylva Baeckström, memahami hubungan emosional dengan uang adalah langkah pertama untuk mengatasi doom spending.
Kurangnya pemahaman tentang keuangan, dapat menghalangi individu untuk melakukan langkah-langkah menggunakan uang dengan baik dan asal-asalan.
Memahami literasi keuangan juga menjadi dasar untuk tahu pentingnya menabung dan berinvestasi, sehingga dapat mencegah doom spending.
Generasi muda perlu didorong untuk mempelajari literasi keuangan sejak dini, agar mereka lebih siap menghadapi tantangan ekonomi.
Cara lainnya yang bisa dilakukan adalah berbelanja menggunakan uang tunai dan mengesampingkan debit, aplikasi paylater, dan pembayaran online lainnya.
Doom spending merupakan respons emosional terhadap ketidakpastian dan kecemasan terkait masa depan, terutama di kalangan Gen Z dan milenial.
Hindarilah mengeluarkan uang tanpa kendali agar tidak mengalami kerugian finansial di kemudian hari.