JATIMTIMES - Raden Patah adalah tokoh bersejarah yang sangat signifikan dalam sejarah Islam di Jawa. Sebagai pendiri Kesultanan Demak Bintoro, Raden Patah memainkan peran kunci dalam pembentukan dan pengembangan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Gelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah yang disandangnya menandakan posisi pentingnya dalam sejarah Islam dan politik di Nusantara. Artikel ini akan menguraikan secara detail kehidupan, kekuasaan, dan kontribusi dakwah Islam dari Raden Patah.
Baca Juga : Ahli Ungkap Potensi Terjadi Kiamat, Mega El Nino Jadi Penyebab Musnahnya 90% Makhluk di BumiĀ
Asal Usul dan Keturunan Raden Patah
Raden Patah lahir pada tahun 1455 di Palembang dan meninggal pada tahun 1518 di Demak. Dia adalah putra dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir, menurut versi Babad Tanah Jawi. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya Prabu Brawijaya yang dimaksud.
Sebagian sumber menyebut Prabu Kertabhumi, Maharaja Majapahit yang memerintah antara 1474-1478, sebagai ayahnya. Di sisi lain, banyak sumber merujuk pada Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit yang berkuasa antara 1447-1451.
Babad Tanah Jawi menyebut bahwa Raden Patah adalah anak dari seorang selir Tionghoa, putri Kyai Batong yang dihadiahkan kepada Arya Damar adipati Palembang karena cemburunya permaisuri Prabu Brawijaya. Versi lain dari Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa ibu Raden Patah bernama Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat dan Siu Te Yo, pedagang Muslim asal Gresik.
Tan Go Hwat, juga dikenal sebagai Syaikh Bantong adalah seorang saudagar dan ulama yang memperkuat teori bahwa Raden Patah memiliki latar belakang yang kuat dalam komunitas Muslim Tionghoa.
Raden Patah menerima pendidikan awal dari ibunya, yang mengajarkannya ajaran dasar Islam. Selain itu, ia belajar ilmu agama dan pemerintahan dari Arya Damar, yang pada saat itu masih terpengaruh oleh nilai-nilai Hindu-Buddha.
Ketidakpuasan Raden Patah terhadap pengajaran agama dari Arya Damar menyebabkan ia mencari pengetahuan lebih lanjut mengenai Islam. Raden Patah melakukan perjalanan ke Jawa, di mana ia bertemu dengan Sunan Ampel dan menjadi muridnya. Dalam proses ini, ia menikahi putri Sunan Ampel, Dewi Murthosimah, sedangkan adiknya, Raden Kusen, menikahi cucu Sunan Ampel, Nyai Wilis.
Kepemimpinan dan Pendiri Kesultanan Demak Bintoro
Raden Patah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak Bintoro. Pada tahun 1475, ia memulai pemerintahan di Demak dan menghadapi berbagai tantangan dalam menyebarkan ajaran Islam. Menggunakan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah, ia berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa, menyatukan wilayah Bintaro dengan Demak, dan mengembangkan kerajaan tersebut menjadi kekuatan dominan.
Selama masa pemerintahannya, Raden Patah aktif dalam melakukan dakwah Islam. Ia membangun Masjid Agung Demak pada tahun 1479 dan memaklumkan Kitab Undang-Undang Salokantara sebagai bagian dari hukum positif di Demak. Kitab undang-undang ini merupakan salinan dari hukum pra-Majapahit, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Kutara Manawa Dharmasastra, yang mengatur berbagai aspek hukum, dari pidana hingga perdata.
Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak Bintara dikenal tidak hanya karena perannya sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pelopor dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa. Pencapaiannya dalam penyusunan hukum positif, tradisi keagamaan, sastra, dan seni budaya menunjukkan betapa signifikan kontribusinya dalam membentuk struktur sosial dan hukum masyarakat pada masanya.
Pada tahun 1479, setahun setelah Majapahit diserang oleh Girindrawardhana, Raden Patah selaku Adipati Demak Bintara meresmikan berdirinya Masjid Agung Demak dan memaklumkan berlakunya Kitab Undang-Undang Salokantara. Kitab ini merupakan salah satu bagian dari kompendium hukum pra-Majapahit yang juga mencakup Kitab Undang-Undang Hukum Kutara Manawa Dharmasastra. Kitab Salokantara adalah langkah awal Raden Patah dalam menerapkan hukum yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam di Demak Bintara.
Namun, Raden Patah tidak berhenti di situ. Tidak lama kemudian, ia memperkenalkan Kitab Undang-Undang Angger Surya Ngalam, sebagai pembaharuan dari Salokantara. Kitab ini lebih menonjolkan pengaruh hukum Islam sambil tetap mempertahankan beberapa elemen dari hukum tradisional Majapahit.
Meskipun sering diinterpretasikan sebagai produk hukum yang sepenuhnya Islam, hasil telaah menunjukkan bahwa pasal-pasal dalam Angger Surya Ngalam banyak mengadopsi pasal-pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Kutara Manawa Dharmasastra yang berlaku di Majapahit.
Kitab Undang-Undang Kutara Manawa Dharmasastra sendiri terbagi dalam 19 bagian, yang mencakup berbagai aspek hukum publik, seperti:
1. Peraturan Umum: Mengatur tentang anak di bawah umur sepuluh tahun dan ketentuan denda.
2. Astadusta: Menyangkut delapan jenis tindakan membunuh dan melukai orang, dengan hukuman dari pidana mati hingga denda.
3. Kawula: Pengaturan mengenai hamba sahaya, termasuk perlakuan dan asal-usul kehambaan.
4. Astacorah: Menyangkut delapan jenis pencurian dengan hukuman mulai dari denda hingga potong tangan atau kaki.
5. Sahasa: Mengatur mengenai rudapaksa dan penistaan dengan hukuman dari denda hingga hukuman mati.
6. Adol-tinuku: Hukum jual-beli dan konsekuensinya.
7. Sanda: Peraturan tentang pergadaian.
8. Ahutang-apihutang: Hukum utang-piutang.
9. Titipan: Peraturan mengenai penitipan barang, barang gadaian, hewan, dan uang.
10. Tukon: Mengatur mas kawin, pengembalian mas kawin, dan pembatalan mas kawin.
11. Kawarangan: Hukum perkawinan.
Baca Juga : Kecelakaan Tunggal di JLS Malang: Sopir Pikap Tewas, 4 Penumpang Luka-luka
12. Paradara: Mengatur perbuatan mesum dan pelecehan seksual dengan hukuman berat.
13. Drewe Kaliliran: Hukum pewarisan dari keturunan dan anak pungut.
14. Wakparusya: Caci-maki dan penghinaan.
15. Dandaparusya: Tindak kekerasan terhadap manusia dan hewan.
16. Kagelehan: Kelalaian yang mengakibatkan orang lain celaka.
17. Atukaran: Peraturan tentang berkelahi terbuka dan hukuman terkait.
18. Bhum: Peraturan mengenai kepemilikan dan penggarapan tanah.
19. Duwilatek: Hukum fitnah dan hukuman terkait.
Dengan diterapkannya Kitab Undang-Undang Angger Surya Ngalam, yang secara esensial tidak banyak berbeda dari Kitab Undang-Undang Hukum Kutara Manawa Dharmasastra, masyarakat Demak Bintara mengalami perubahan hukum yang signifikan. Meskipun hukum tersebut mengadopsi banyak unsur dari hukum Majapahit, penerapan prinsip-prinsip syariat Islam yang jelas terlihat dalam kitab ini memfasilitasi proses penegakan hukum yang dianggap lebih adil.
Keberhasilan Raden Patah dalam memperkenalkan dan menerapkan sistem hukum baru ini menunjukkan kemampuannya dalam mengintegrasikan elemen-elemen hukum Islam dengan tradisi lokal. Penduduk lebih memilih mengikuti hukum Demak Bintara karena dinilai lebih konsisten dan adil dibandingkan dengan hukum Majapahit yang semakin melemah. Dengan demikian, warisan hukum yang ditinggalkan oleh Raden Patah tidak hanya memperkuat posisi Demak Bintara sebagai pusat kekuasaan politik, tetapi juga sebagai pelopor penerapan hukum Islam di Nusantara.
Di bidang seni dan budaya, Raden Patah juga berperan penting. Di bawah kepemimpinannya, seni wayang mengalami transformasi signifikan. Raden Patah menyadari potensi wayang sebagai alat dakwah yang efektif. Dalam konsultasi dengan anggota Wali Songo, disepakati bahwa seni wayang perlu mengalami perubahan untuk menyesuaikan dengan ajaran Islam. Bentuk wayang diubah agar tidak menyerupai arca manusia, dan cerita-cerita dalam wayang diadaptasi untuk menghilangkan unsur kemusyrikan dan menggantinya dengan pesan-pesan Islami.
Reformasi wayang ini mencakup perubahan dalam bentuk dan bahan pembuatan wayang, serta penyesuaian cerita dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, Raden Patah memperkenalkan Gamelan Sekati, yang dimainkan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di halaman Masjid Demak. Tradisi ini melibatkan pembuatan gamelan yang indah dan pemanfaatannya dalam merayakan hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan terutama Maulid Nabi. Kegiatan ini tidak hanya meramaikan perayaan, tetapi juga berfungsi sebagai media dakwah untuk menarik masyarakat agar lebih mendalami ajaran Islam.
Sebagai pusat kebudayaan dan dakwah, Kesultanan Demak berkembang pesat di bawah kepemimpinan Raden Patah. Demak menjadi kota yang makmur dengan pengaruh yang meluas hingga ke Palembang, Jambi, dan Tanjung Pura. Kota ini tidak hanya dikenal sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai pusat pengembangan budaya Islam di Nusantara. Tome Pires, seorang penulis Portugis yang mengunjungi Demak, menggambarkan kota ini sebagai tempat dengan kekayaan melimpah dan aktivitas perdagangan yang sibuk, menunjukkan dampak besar dari kepemimpinan Raden Patah.
Peran Raden Patah dalam dakwah Islam di Jawa melampaui pengembangan politik dan hukum. Melalui kebijakan-kebijakan yang mendorong integrasi nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk seni dan budaya, Raden Patah tidak hanya memelihara ketertiban masyarakat, tetapi juga menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih efektif. Kegiatan-kegiatan seperti reformasi seni wayang dan perayaan Maulid Nabi adalah contoh nyata dari dedikasi dan visi Raden Patah dalam memajukan dakwah Islam di Nusantara. Keberhasilannya dalam memadukan hukum, budaya, dan ajaran agama menjadikannya tokoh yang dihormati dan dimuliakan, dengan makamnya yang masih menjadi tempat ziarah hingga kini.
Raden Patah adalah figur sentral dalam sejarah Islam di Jawa, yang tidak hanya dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak Bintaro tetapi juga sebagai pelopor dakwah Islam yang efektif. Dengan menggabungkan kekuatan politik dan pengaruh agama, ia memainkan peran penting dalam membentuk awal sejarah Islam di Nusantara. Kontribusinya dalam hukum, pendidikan, dan kesenian mencerminkan dedikasinya untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan mengintegrasikannya ke dalam masyarakat Jawa pada masa itu.
Sebagai tokoh yang berjasa dalam sejarah Indonesia, Raden Patah meninggalkan warisan yang melampaui batas waktu dan wilayah. Dari pendiri Kesultanan Demak Bintoro hingga reformator seni dan hukum Islam, kontribusinya telah membentuk tidak hanya struktur politik dan hukum, tetapi juga budaya dan agama di Nusantara.
Keberhasilan Raden Patah dalam menyebarluaskan ajaran Islam dan mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya menunjukkan visinya yang jauh ke depan. Hingga kini, warisan dan ajarannya tetap dikenang dan dihormati, menjadikannya sebagai pilar penting dalam sejarah Islam di Jawa. Makamnya yang menjadi tempat ziarah dan penghormatan adalah saksi bisu dari perjalanan hidup seorang pemimpin yang berkomitmen pada dakwah dan pembaharuan.