JATIMTIMES- Pada tanggal 17 Agustus 1946, tepat satu tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah monumen sederhana namun sarat makna berdiri di halaman depan rumah Ir. Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Monumen ini dikenal sebagai "Tugu Proklamasi" atau sering disebut juga "Tugu Jarum."
Pendirian tugu ini bukan sekadar simbol, melainkan sebuah persembahan dari kaum wanita Indonesia yang tergabung dalam organisasi Pemuda Puteri Indonesia dan Ikatan Wanita Djakarta, yang secara gigih berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan.
Awal Ide Pembangunan
Baca Juga : Profil Maulia Permata Putri, Sosok yang Akan Menjadi Pembawa Baki di Upacara Kemerdekaan di IKN
Ide awal pembangunan tugu ini muncul dari semangat patriotik kaum wanita Indonesia. Mereka ingin memberikan kontribusi nyata bagi bangsa yang baru merdeka, dan bentuk kontribusi tersebut diwujudkan dalam sebuah tugu peringatan.
Tugu ini dimaksudkan untuk menjadi pengingat abadi tentang perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para pahlawan bangsa demi kemerdekaan Indonesia.
Organisasi Pemuda Puteri Indonesia dan Ikatan Wanita Djakarta kemudian membentuk panitia pembangunan tugu, dengan Ny. Sukemi sebagai Ketua Panitia dan Ny. Johanna Masdani sebagai Ketua Subpanitia sekaligus perancang desain tugu. Dana pembangunan ini diperoleh dari kaum Republiken, orang-orang yang pro terhadap kemerdekaan RI.
Simbolisme dan Desain Tugu
Tugu Proklamasi memiliki desain yang sederhana namun penuh dengan simbolisme. Dibangun dari beton dengan bentuk menyerupai jarum, tugu ini tidak hanya melambangkan ketajaman dan ketegasan dalam perjuangan, tetapi juga mengingatkan pada titik awal perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Bentuknya yang ramping dan menjulang ke atas seolah mengarahkan pandangan ke langit, mengingatkan kita akan cita-cita luhur yang harus selalu dijunjung tinggi.
Beberapa tokoh perempuan penting turut serta dalam pembangunan tugu ini, seperti Ny. Mien Wiranatakusumah, Ny. Emily Ratulangi, Ny. Gerung, Ny. Zubaedah, dan Ny. Maria Ulfah. Keterlibatan mereka menunjukkan betapa kuatnya peran wanita dalam membangun fondasi moral dan spiritual bangsa di masa-masa sulit tersebut.
Peresmian dan Makna Tugu Proklamasi
Tugu Proklamasi sempat akan ditunda peresmiannya karena keberadaan tentara Belanda dan Sekutu di Jakarta. Namun pada akhirnya, tugu yang dulu disebut sebagai "Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia" ini diresmikan oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir pada tanggal 17 Agustus 1946.
Peresmian ini bukan hanya sekadar seremonial, melainkan juga menjadi momen untuk mengenang kembali perjuangan yang telah dilalui serta meneguhkan komitmen bangsa dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan. Bagi banyak orang, Tugu Proklamasi menjadi simbol harapan dan kebanggaan nasional, yang lahir dari ketulusan hati para wanita Indonesia yang berjuang dalam kapasitas mereka untuk bangsa.
Kemunduran Pamor dan Kehancuran Tugu
Sayangnya, tugu ini tidak selamanya menjadi simbol kebanggaan. Diam-diam, pamor Tugu Proklamasi mulai meredup, terutama setelah beredar kabar yang salah kaprah mengenai identitasnya.
Harian Keng Po, dalam edisinya pada 14 Agustus 1960, memuat pernyataan dari kelompok Angkatan 45 yang mengklaim bahwa tugu tersebut adalah "Tugu Linggarjati." Pernyataan ini menciptakan kesalahpahaman yang fatal dan memicu rencana penghancuran tugu.
Klimaks dari nasib buruk Tugu Proklamasi terjadi pada Sidang Pleno Istimewa Dewan Perancang Nasional (Deparnas) pada 13 Agustus 1960, di mana Presiden Soekarno, yang saat itu memiliki visi besar untuk mendirikan monumen yang lebih megah, memutuskan untuk menghancurkan tugu lama beserta rumah bersejarah yang ada di belakangnya.
Soekarno, yang meyakini bahwa tugu ini adalah "Tugu Linggarjati," bersikukuh bahwa penghancuran tugu tersebut adalah langkah yang tepat. Alhasil, pada 15 Agustus 1960, Tugu Proklamasi dan rumah di Jl. Pegangsaan Timur 56 diratakan dengan tanah, meninggalkan jejak sejarah yang hilang dan kebijakan yang masih diperdebatkan hingga hari ini.
Tugu Proklamasi yang Baru
Baca Juga : DPRD Banyuwangi Berikan Persetujuan Atas Diajukannya Ranperda Perubahan APBD 2024
Namun, semangat untuk mengabadikan momen Proklamasi Kemerdekaan tidak pernah benar-benar padam. Pada tanggal 1 Januari 1961, "Tugu Proklamasi" yang baru diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Tugu ini memiliki desain yang berbeda dari pendahulunya, dengan tiang setinggi 17 meter dan simbol petir di pucuknya. Desain ini dianggap lebih modern dan dinamis, namun ironisnya justru membuat banyak orang merasa bahwa tugu ini lebih mirip lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN) ketimbang sebuah monumen peringatan kemerdekaan.
Pembangunan tugu yang baru ini memang diharapkan bisa menjadi simbol kemajuan dan kekuatan bangsa yang semakin berkembang. Namun, hilangnya tugu lama yang sarat sejarah dan kenangan, serta penghancuran rumah Proklamasi, meninggalkan luka dalam bagi banyak pihak. Tugu yang baru, meskipun megah, tidak sepenuhnya bisa menggantikan makna sentimental dari tugu yang pertama.
Era Orde Baru dan Replika Tugu Proklamasi
Pada era Orde Baru, tepatnya tahun 1972, Presiden Soeharto menyetujui pembangunan kembali Tugu Proklamasi dengan bentuk dan desain yang serupa dengan tugu yang pertama. Pembangunan replika tugu ini dilakukan di lokasi yang sama dan berada di bagian depan dari Tugu Proklamasi yang diresmikan oleh Soekarno pada tahun 1961.
Replika tugu ini baru selesai dibangun pada 15 Agustus 1972 dan dilengkapi dengan plakat marmer yang memuat naskah proklamasi dan peta Indonesia. Replika ini kemudian diresmikan pada 17 Agustus 1972 oleh Menteri Penerangan, Budiardjo, mewakili Presiden Soeharto.
Kompleks Taman Proklamasi kini menjadi tempat berdirinya tiga monumen penting: Tugu Proklamasi, Tugu Petir, dan Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta. Di dekat Monumen Pahlawan Proklamator, terdapat pula sebuah monumen naskah proklamasi yang terbuat dari marmer hitam, mengingatkan kita akan momen bersejarah saat proklamasi dikumandangkan.
Tugu Proklamasi dan Warisan Sejarah
Hingga saat ini, replika Tugu Proklamasi yang didirikan pada era Orde Baru masih berdiri tegak, menjadi salah satu simbol penting dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, keberadaan tugu ini tidak lepas dari kontroversi dan diskusi mengenai makna sejarah yang diabaikan atau bahkan dilupakan.
Banyak yang mempertanyakan, apakah tugu yang ada saat ini bisa benar-benar mewakili semangat perjuangan yang diusung oleh tugu pertama yang dibangun oleh kaum wanita Indonesia?
Pembangunan kembali tugu ini mungkin dimaksudkan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali memori sejarah yang terlupakan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa jejak asli dari perjuangan perempuan Indonesia dalam mendirikan Tugu Proklamasi pertama telah hilang bersama dengan penghancuran tugu tersebut.
Tugu Proklamasi, yang lahir dari semangat juang kaum wanita Indonesia, seharusnya menjadi warisan sejarah yang dihargai dan dijaga. Sayangnya, berbagai peristiwa yang terjadi selama tahun-tahun berikutnya membuat tugu ini terpinggirkan, baik secara fisik maupun dalam ingatan kolektif bangsa.
Meskipun replika tugu ini masih berdiri hingga kini, penting bagi kita untuk tidak melupakan sejarah asli dari tugu ini, serta peran besar wanita Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan. Tugu Proklamasi bukan sekadar monumen, melainkan sebuah simbol harapan dan dedikasi yang tulus, yang telah memberikan kontribusi nyata bagi kemerdekaan Indonesia.