JATIMTIMES - Indonesia, dengan keindahan alamnya yang luar biasa, memang layak disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa. Gunung, hutan, bukit, lembah, danau, hingga lautnya menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara. Salah satu danau yang patut dikunjungi adalah Telaga Sarangan di Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Telaga Sarangan tidak hanya menawarkan panorama yang memukau, tetapi juga menyimpan kisah mitos dan legenda yang menarik. Menurut cerita turun-temurun masyarakat setempat, asal-usul Telaga Sarangan berkaitan dengan sepasang suami istri bernama Ki Pasir dan Nyi Pasir.
Baca Juga : Viral Pria Bersitegang dengan Beberapa TNI, Netizen: Tunggu Kronologinya
Kisah ini bermula ketika Ki Pasir dan Nyi Pasir menemukan telur besar saat mencari kayu untuk membangun rumah. Karena kelaparan, mereka memutuskan untuk memasak dan memakan telur tersebut. Namun, setelah memakan telur, mereka merasa panas dan gatal di seluruh tubuh. Untuk meredakan rasa tidak nyaman tersebut, mereka melompat ke dalam kubangan air.
Keajaiban terjadi, Ki Pasir dan Nyi Pasir berubah menjadi sepasang naga dan mulai berenang mengelilingi kubangan tersebut. Perlahan, kubangan tersebut menjadi semakin luas dan akhirnya dikenal sebagai Telaga Sarangan.
Anak mereka, Joko Lelung, kebingungan mencari orang tuanya. Kepala Lingkungan Desa Sarangan, Sunarto, menjelaskan bahwa Ki Pasir dan Nyi Pasir berpesan melalui mimpi agar tidak dicari lagi keberadaanya.
"Lalu ada suara gaib seolah memberi pesan kepada si Joko Lelung agar tidak usah mencari ayah dan ibunya. Karena Ki Pasir dan Nyi Pasir sudah kembali ke alam baka," jelas Sunarto, dikutip YouTube Trans7 Lifestyle, Sabtu (29/6/2024).
"(Dalam suara gaib itu) Cuma pesan pada suatu nanti seiring perkembangan zaman, setiap Jumat Pon, bulan ruwah (Sya'ban) supaya diperingati kegiatan bersih desa. Alhamdulillah sampai sekarang bersih desa tersebut dilaksanakan," tambah Sunarto.
Dulunya Telaga Sarangan juga dikenal sebagai Telaga Pasir. Telaga ini memiliki luas 30 hektar dengan kedalaman 28 meter.
Jauh sebelum dikenal sebagai destinasi wisata unggulan Kabupaten Magetan, Telaga Sarangan sudah menjadi tempat favorit warga Belanda yang tinggal di Magetan. Kabar tentang keindahan Telaga Sarangan menyebar luas, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan, berbagai fasilitas penunjang wisata dibangun untuk memperindah kawasan ini.
Presiden dan wakil presiden pertama Indonesia beberapa kali mengunjungi Telaga Sarangan untuk menikmati pesonanya. Pada era 70-an, Telaga Sarangan mulai dikenal masyarakat luas di Indonesia. Seiring waktu, Telaga Sarangan semakin populer dan menjadi salah satu destinasi wisata utama di Kabupaten Magetan.
Setiap tahun, masyarakat sekitar Telaga Sarangan mengadakan tradisi Labuhan Sesaji, yang dikenal sebagai Labuhan Sarangan. Tradisi ini digelar setiap Jumat Pon di bulan Ruwah (Sya'ban) berdasarkan perhitungan kalender Jawa. Ritual ini merupakan bentuk rasa syukur atas berkah yang diberikan Tuhan melalui keberadaan Telaga Sarangan.
Sehari sebelum acara utama, para sesepuh desa mengunjungi sebuah makam di sisi barat Telaga Sarangan, yang diyakini sebagai makam leluhur warga sekitar bernama Dewi Werdiningsih. Di makam tersebut, warga melakukan ritual pertama persiapan larungan dengan memberikan sesaji dan membacakan doa-doa.
Pengangeng Adat Desa Sarangan Soetowo menjelaskan jika Labuhan Sarangan bukan sesuatu yang syirik dan bid'ah. Sebab ucapara ini hanya sebagai simbol ungkapan syukur dan sebagai upaya melestarikan budaya.
Baca Juga : Telaga Sarangan Dipagar, Netizen Ngaku Tak Bisa Lagi Foto di Spot Terbaik
"Jadi kalau dianggap itu syirik atau bid'ah, bagi saya kurang benar. Karena pemahamannya yang kurang pas. Karena selamatan itu ya merupakan istilahnya bersyukur atas hasil yang diberikan. Karena yang digunakan adalah ayam panggang, tumpeng dan pisang itu merupakan simbol-simbol dari diri pribadinya masuk manusia," jelas Soetowo.
Dalam Labuhan Sarangan, puncaknya adalah menanam kepala kambing di bawah sebuah pohon yang diyakini warga sebagai Punden yang disucikan. Kaki-kaki kambing juga ditanam di empat penjuru angin melingkari Desa Sarangan. Sebagaimana adat kejawen yang menjadi simbol keselamatan.
"Ini istilahnya sarana merupakan istilahnya tolak bala. Nanti kalau setiap pojok-pojok desa itu diberi kaki-kaki kambing yang sudah disembelih di punden. Maka diartikan semua gangguan dari alam yang tidak diinginkan tidak berani mendekat, istilahnya begitu," terang Soetowo.
Pada hari pelaksanaan Labuhan Sarangan, suasana di sekitar telaga menjadi semakin meriah dengan umbul-umbul, tenda, dan panggung utama. Warga mengenakan pakaian terbaik mereka dan membawa lauk pauk yang sudah disiapkan.
Tradisi ini dimulai dari kantor Kelurahan Sarangan dengan arak-arakan tumpeng raksasa dan berbagai sesaji yang diikuti lebih dari 1.000 orang menuju Telaga Sarangan.
Sejarawan Andrian Perkasa mengungkapkan bahwa tradisi ini berakar dari zaman Megalitikum. Gunungan dan tumpeng yang digunakan dalam ritual ini adalah simbol-simbol kuno yang telah ada sejak sebelum zaman Hindu. Tradisi ini menunjukkan kesinambungan budaya dari masa lalu hingga kini.
Setelah 2 jam perjalanan kirab, Labuhan dimulai. Sesaji dan tumpeng raksasa dibawa dengan perahu motor dan diiringi oleh belasan kapal. Di tengah telaga, tumpeng raksasa yang disebut gono bahu diceburkan ke dalam air. Ritual kuno ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan telah ditunaikan, menjadi warisan yang terus lestari di Telaga Sarangan.
Telaga Sarangan, dengan keindahan alam dan kekayaan budaya serta mitosnya, menjadi destinasi wisata yang tak boleh dilewatkan. Legenda naga dan tradisi Labuhan yang masih dipertahankan hingga kini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia.