free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Brawijaya V: Raja Majapahit yang Membuka Pintu Penyebaran Islam di Jawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

19 - May - 2024, 19:11

Placeholder
Ilustrasi Raja Brawijaya V dan bendera Kerajaan Majapahit.(Foto: Ist)

JATIMTIMES - Ketika kita berbicara tentang kemegahan dan kejayaan Kerajaan Majapahit, nama-nama besar seperti Raden Wijaya dan Hayam Wuruk sering kali mendominasi perbincangan. Namun, di balik gemerlapnya sejarah, ada sosok yang tak kalah menarik perhatian, Raja Brawijaya V. Dikenal sebagai raja Majapahit yang memiliki keturunan yang luas dan berpengaruh, Brawijaya V meninggalkan jejaknya dalam alur sejarah yang tak terlupakan.

Nama Brawijaya V dikenal luas melalui berbagai sumber sejarah, mulai dari Prasasti Jiyu hingga Serat Pararaton. Sebagai bagian dari Dinasti Rajasa, keturunan dari Ken Arok, Brawijaya V dianggap sebagai penguasa terakhir dari dinasti tersebut. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1447 hingga 1451, meskipun masa kekuasaannya relatif singkat, kebijakannya memiliki dampak yang signifikan. Selama masa pemerintahannya yang singkat, Brawijaya V menunjukkan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Islam di Majapahit. Kebijakannya yang inklusif dan mendukung penyebaran Islam akhirnya melahirkan sejarah baru untuk tanah Jawa. 

Baca Juga : Melihat Kontrakan Jemaah Haji China yang Berada di Perbukitan Makkah, Karena Murah 

Dyah Kertawijaya, yang lebih dikenal sebagai Brawijaya V, naik tahta Majapahit menggantikan kakaknya, Rani Suhita, setelah wafatnya pada tahun 1447 Masehi. Karena Rani Suhita tidak memiliki putra, tahta tersebut jatuh kepada adik laki-lakinya, Dyah Kertawijaya, yang kemudian dinobatkan dengan nama abhiseka: Sri Prabu Kertawijaya Parakramawarddhana. 

Dalam Babad Tanah Jawi, Dyah Kertawijaya disebut sebagai Raden Alit, dan setelah menjadi raja, ia bergelar Prabu Brawijaya V. Penamaan ini sesuai dengan urutan raja-raja laki-laki Majapahit sebelumnya, yaitu Sri Prabu Kertarajasa Jayawarddhana, Sri Prabu Jayanegara, Sri Prabu Rajasanegara, Sri Prabu Wikramawarddhana, dan Sri Prabu Kertawijaya.

Sri Prabu Kertawijaya dikenal sebagai Maharaja Majapahit pertama yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam, meskipun ia sendiri beragama Hindu. Ini terjadi karena ia memiliki teman, kerabat, dan pembantu yang beragama Islam. Selain itu, dua dari istrinya yang berasal dari Campa dan Cina juga merupakan muslimah.

Beberapa putra Sri Prabu Kertawijaya diketahui sebagai pemeluk agama Islam. Berdasarkan sumber historiografi seperti Babad Ponorogo, Babad ing Gresik, Babad Pengging, Babad Sembar, Serat Kandha, dan naskah-naskah yang berisi silsilah keturunan Prabu Brawijaya V (Sri Kertawijaya), seperti Tedhak Tedhak Pusponegaran, Pustaka Dharah Agung, Silsilah Jayalelana, Dermayudan, Serat Dharah, dan Layang Kekancingan. 

Diketahui bahwa Sri Prabu Kertawijaya memiliki sejumlah putra yang memeluk agama Islam. Di antara mereka adalah Arya Damar Adipati Palembang, Bathara Katong Adipati Ponorogo, Arya Lembu Peteng Adipati Pamadegan, Arya Menak Koncar Adipati Lumajang, Raden Patah Adipati Demak, Raden Bondan Kejawen Kiai Ageng Tarub II, dan Raden Dhandhun Wangsaprana yang bergelar Syekh Belabelu.

Dengan pengaruh besar Islam di kalangan keluarganya, Brawijaya V memainkan peran penting dalam perkembangan agama tersebut di Majapahit. Kepemimpinannya yang inklusif terhadap agama-agama lain, terutama Islam, menandai masa transisi penting dalam sejarah kerajaan Majapahit dan menyebarkan pengaruh Islam di Nusantara.

Menariknya, kebijakan Brawijaya V juga membuka peluang bagi orang-orang Islam untuk menduduki jabatan penting di Majapahit. Arya Teja, yang dikenal sebagai seorang Muslim, diangkat menjadi Adipati Tuban, sementara Arya Lembu Sura, juga seorang Muslim, menjadi Raja Surabaya. 

Kemenakan jauh istrinya, Sayyid Es, dianugerahi gelar Syaikh Suta Maharaja dan kemudian diangkat menjadi Adipati Kendal. Ali Rahmatullah (Raden Rahmat atau Sunan Ampel), diangkat sebagai imam di Surabaya dan kemudian menjadi Bupati di sana. Kakak Raden Rahmat, Ali Murtadho, yang berasal dari Negeri Campa, diangkat sebagai imam di masjid Gresik dengan gelar Raja Pandita. Sementara itu, kemenakan istrinya yang lain, Burereh (Abu Hurairah), diangkat sebagai leba di Wirasabha.

Dalam segala kesempatan, Brawijaya V menunjukkan kedermawanannya dalam memperjuangkan toleransi dan kerukunan antaragama di Majapahit. Dengan memperhatikan peran Islam dalam kerajaannya, ia membuka pintu bagi kemajuan agama tersebut di tanah Jawa. 

Kebijakannya mencerminkan komitmen kuat terhadap inklusivitas dan pluralisme, yang pada gilirannya memperkuat posisi Islam dalam struktur sosial dan politik Majapahit. Brawijaya V meninggalkan jejak yang terukir dalam sejarah kerajaan Majapahit, sebagai penguasa yang tidak hanya mempertahankan kejayaan kerajaannya tetapi juga mempromosikan harmoni dan kemajuan agama-agama yang berkembang di wilayahnya.

Sri Prabu Kertawijaya, yang dikenal sebagai Brawijaya V, meninggal dunia pada tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi. Menurut catatan Pararaton, setelah kematiannya, jenazah Brawijaya V, Maharaja Majapahit, didarmakan di Kertawijayapura. Namun, juru kunci penjaga situs tersebut sering menyebutnya sebagai makam Prabu Damarwulan. Cerita ini menunjukkan bagaimana sejarah dan legenda sering kali bercampur dalam tradisi lisan yang diceritakan turun temurun dan menjadi dongeng. Sejarah seringkali bercampur dengan legenda, menciptakan warisan yang kaya namun pada akhirnya memunculkan misteri. 

Kisah serupa juga menyelimuti makam Darawati, putri Campa dan istri Brawijaya V. Makamnya dikenal sebagai makam permaisuri Damarwulan, yaitu Ratu Kenconowungu. Perpaduan antara sejarah dan legenda ini menciptakan lapisan-lapisan cerita yang memperkaya tradisi lisan dan tulisan Jawa. Damarwulan dan Ratu Kenconowungu sendiri merupakan tokoh-tokoh legendaris yang sering muncul dalam cerita rakyat dan kesenian Jawa.

Pencampuran antara fakta sejarah dan mitos ini tidak hanya terjadi pada Brawijaya V dan keluarganya, tetapi juga pada banyak tokoh lain dari masa lalu Nusantara. Hal ini membuat penelitian sejarah menjadi tantangan tersendiri, karena harus menelusuri dan memilah antara apa yang benar-benar terjadi dan apa yang telah dilegendakan oleh masyarakat. 

Namun, justru dari sinilah keindahan dan keunikan sejarah Jawa berasal, dengan cerita-cerita yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga menghidupkan kembali imajinasi dan kebudayaan masa lalu.

Makam Brawijaya V, yang mungkin lebih dikenal sebagai makam Prabu Damarwulan, dan makam Darawati, yang dikenal sebagai makam Ratu Kenconowungu, adalah contoh nyata dari bagaimana sejarah dan legenda saling terkait. Keduanya tidak hanya merupakan situs bersejarah, tetapi juga simbol dari perpaduan antara realitas dan cerita yang telah diwariskan turun-temurun.

Baca Juga : Jelang Idul Adha, DPRD Jatim Minta Pemerintah Antisipasi Penularan Penyakit Hewan Ternak

Darawati, permaisuri terkemuka Brawijaya V, menarik perhatian bukan hanya karena kedudukannya dan seorang muslimah, tetapi juga karena asal-usulnya yang unik. Ia merupakan putri dari Raja Kauthara, negara bagian Champa di Vietnam. 

Darawati memiliki darah Cina dari ayahnya, Bong Tak Keng, sementara ibunya adalah putri Maharaja Champa, Raja Indravarman VI, berasal dari etnis Champa atau Indochina. Karena latar belakangnya yang berasal dari Champa, penduduk Majapahit mengenalnya dengan sebutan Putri Campa dalam ejaan Jawa.

Pernikahan Darawati dengan Prabu Brawijaya V menimbulkan konflik politik di Kerajaan Majapahit. Protes muncul dari kalangan elit istana lainnya yang merasa tidak puas dengan pilihan tersebut. Dari pernikahannya dengan Darawati, yang juga dikenal sebagai Putri Campa, lahirlah Retno Pembayun. 

Retno Pembayun kemudian menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat, penguasa Pengging yang terkenal dengan gelar Ki Ageng Pengging Sepuh. Pernikahan ini melahirkan Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging II), yang merupakan ayah dari Mas Karebet atau Joko Tingkir. Joko Tingkir kemudian mendirikan Kasultanan Pajang setelah menikahi Ratu Mas Cempaka, putri bungsu Sultan Trenggono Raja Demak, dan berhasil mengalahkan Adipati Jipang Panolan, Arya Penangsang.

Selain Retno Pembayun, Darawati dan Brawijaya V juga memiliki seorang putra bernama Bathara Katong, yang menjadi penguasa pertama Ponorogo dan tokoh utama dalam penyebaran agama Islam di daerah tersebut. 

Darawati memiliki kedudukan istimewa bukan hanya sebagai permaisuri Brawijaya V, tetapi juga sebagai bibi dari Sunan Ampel. Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit bukan hanya untuk reuni keluarga, tetapi juga membawa pesan agama Islam. Brawijaya V menghalangi Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk kembali ke Champa karena negeri tersebut telah hancur akibat perang dengan Kerajaan Koci. Sebagai gantinya, Brawijaya V mengangkat Raden Rahmat sebagai imam Masjid di Surabaya dengan gelar Sunan Ngampel.


Istri Lain dan Keturunan yang Membentuk Peradaban Islam di Jawa


Istri Brawijaya V lainnya adalah Siu Ban Ci, atau dalam catatan lain disebut Tan Eng Kian, putri dari Tan Go Hwat dari Cina. Siu Ban Ci dikenal sebagai Putri Cina dan ibunda dari Raden Patah, pendiri Kasultanan Demak Bintoro. Siu Ban Ci adalah leluhur perempuan dari raja-raja Kasultanan Demak, yang dicatat sejarah sebagai kerajaan Islam tertua di Jawa.

Istri lain dari Brawijaya V adalah Dewi Wandan Kuning, yang nama aslinya Bondrit Cemara, seorang pelayan istana dari daerah Wandhan, Sulawesi. Ia menjadi istri Brawijaya V karena wangsit yang diterima saat Brawijaya V menderita sakit sipilis. Setelah menikahi Bondrit Cemara, ia sembuh dan Bondrit Cemara melahirkan Raden Bondan Kejawan.

 Bondan Kejawan dititipkan kepada Ki Ageng Tarub dan kemudian menikahi Dewi Nawangsih, putri Joko Tarub.
Bondan Kejawan memiliki anak bernama Getas Pendawa, yang berputra Ki Ageng Selo, yang kemudian menurunkan Ki Ageng Henis (penyebar agama Islam dan pendiri masjid tertua di Kota Solo), Ki Ageng Pamanahan, dan akhirnya Panembahan Senopati, raja Mataram Islam pertama.

 Dewi Bondrit Cemara merupakan leluhur perempuan dari Dinasti Mataram Islam yang mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Agung. Dinasti Mataram Islam hingga kini masih dapat dilacak jejaknya melalui empat kerajaan bercorak Islam yang masih berdiri di Jawa yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Melalui pernikahan-pernikahan strategis dan serangkaian kebijakannya yang inklusif, Brawijaya V berhasil menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan agama Islam di Jawa. Kebijakannya untuk mengangkat tokoh-tokoh Muslim ke dalam posisi penting dan memberikan ruang bagi dakwah Islam tidak hanya memperkuat kedudukan Islam di Majapahit tetapi juga mempengaruhi penyebaran agama ini di seluruh Nusantara.

 Dukungan Brawijaya V terhadap komunitas Muslim dan integrasinya ke dalam struktur kekuasaan Majapahit menunjukkan visinya tentang toleransi dan harmoni antaragama. Dampak dari kebijakan-kebijakan ini terasa hingga jauh setelah masa pemerintahannya, menjadikan Brawijaya V sebagai salah satu figur penting dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa. Keberhasilan ini mencerminkan warisan yang kaya dan beragam dari kerajaan Majapahit, di mana perpaduan budaya dan agama menjadi fondasi bagi peradaban selanjutnya yang berkembang pesat.


Topik

Serba Serbi Kerajaan Majapahit Brawijaya v Raden Wijaya



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya