free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Mengulik Kisah Raja Hayam Wuruk Restorasi Candi Simping untuk Makam Raden Wijaya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

27 - Apr - 2024, 01:27

Placeholder
Lingga yoni di Candi Simping: Makam Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit.(Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Suasana pagi di Candi Simping tenang dan terasa damai. Matahari pagi yang baru mulai muncul, memancarkan sinar hangatnya ke seluruh penjuru candi yang hanya tinggal reruntuhan. Cahaya pagi meresapi setiap celah-celah batu, memberikan kilauan magis pada lingkungan sekitar. Angin sepoi-sepoi berbisik lembut, sementara dedaunan berbisik menyambut kedatangan sang pagi dengan semangat yang segar.

Di tengah keheningan pagi, sebuah pemandangan menarik menyelimuti dekat reruntuhan candi. Seorang pemuda sibuk membersihkan lumut yang merayap di dinding candi yang usang. Dengan tekun dan penuh dedikasi, ia menjalankan tugasnya sebagai juru rawat candi dengan tanggung jawab yang besar. Terlihat jelas betapa ia merawat setiap sudut candi dengan penuh perhatian.

Baca Juga : Pj Wali Kota Malang Beber Perkembangan UMKM ke Menkop UKM

Ternyata, pemuda tersebut adalah juru rawat candidari Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur. Dengan ramah dia menyambut setiap pengunjung yang datang. "Selamat datang di Candi Simping, tempat pendarmaan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit," ucap pemuda itu kepada pewarta Jatim TIMES. 

Suaranya penuh dengan kehangatan dan penghormatan, seolah mengundang setiap pengunjung untuk memahami dan menghargai nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalam reruntuhan candi tersebut.

Meskipun candi yang berdiri saat ini hanya tersisa reruntuhan yang kurang menarik, namun di balik keruntuhan tersebut terkandung sejarah yang begitu kaya. Selain menjadi tempat peristirahatan terakhir Raden Wijaya, candi ini juga menyimpan jejak dari kedatangan raja-raja besar Nusantara yang pernah singgah di tempat ini dan meninggalkan jejak sejarah yang tak terlupakan. Salah satu dari mereka adalah Hayam Wuruk, raja Majapahit yang mengukir namanya dalam sejarah.

Hayam Wuruk (lahir pada tahun 1334, wafat pada tahun 1389) merupakan maharaja keempat Majapahit yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389. Beliau dikenal dengan gelar Maharaja Sri Rājasanagara. Di masa kepemimpinannya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Hayam Wuruk, yang secara harfiah berarti "ayam yang terpelajar", adalah putra dari Tribhuwana Tunggadewi, penguasa ketiga Majapahit, yang merupakan putri dari Raden Wijaya, pendiri Majapahit, dan Sri Kertawardhana, yang juga dikenal sebagai Cakradhara, penguasa Tumapel atau Bhre Tumapel di wilayah yang kini dikenal sebagai Malang.

Lahir pada tahun 1334, peristiwa kelahiran Hayam Wuruk tercatat dalam kitab Kakawin Nagarakretagama (Desawarnana) sebagai disertai dengan gempa bumi di "Pabanyu Pindah" dan letusan Gunung Kelud. Tahun itu juga merupakan saat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, menciptakan momentum penting dalam sejarah Majapahit.

Setiap tahun, ketika musim dingin menjelang atau setelah panen selesai, Raja Majapahit Hayam Wuruk, yang bergelar Sri Rajasanagara, melaksanakan ritual keliling ke luar ibu kota. Dalam perjalanan ini, yang terdokumentasi dalam Kitab Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca, beliau berangkat menggunakan pedati yang ditarik oleh sapi, ditemani oleh rombongan yang megah.

Perjalanan ini tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan bentuk kunjungan ke daerah-daerah kekuasaan Majapahit pada masa itu, khususnya di wilayah Jawa Timur. Salah satu titik penting dari catatan ini adalah kunjungan Raja Hayam Wuruk ke wilayah Blitar, yang tercatat dua kali. Salah satunya terjadi pada tahun Saka tiga badan dan bulan Waisaka (1283), seperti yang terdokumentasi dalam kutipan Negarakertagama pupuh 61: 

“Ndan ri çakha tri tanu rawi riɳ weçaka, çri natha muja mara ri palah sabhrtya, jambat siɳ ramya pinaraniran / lanlitya, ri lwaɳ wentar mmanuri balitar mwaɳ jimbe”. Artinya: Tahun Saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja berangkat menyekar ke Palah dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lwang Wentar, Blitar menenteramkan cita.

Kunjungan Hayam Wuruk ke Blitar pada masa itu lebih bernuansa keagamaan, dimaksudkan untuk mempersembahkan penghormatan kepada leluhur dan memperkuat ikatan spiritual dengan dinasti Majapahit. Kegiatan kunjungannya mencakup perjalanan ke tempat-tempat suci yang dianggap sakral untuk memuja leluhur. Tempat-tempat yang menjadi fokus utama kunjungannya antara lain Candi Palah (Candi Penataran), Jimbe, Lawang Wentar (Candi Sawentar), dan juga wilayah Balitar untuk mencari kedamaian dan keharmonisan. 

Dari Blitar, Hayam Wuruk dan rombongan melanjutkan perjalanan ke selatan hingga mencapai Lodaya. Di sana, mereka menghabiskan beberapa hari untuk beristirahat dan menikmati keindahan pantai selatan, sambil tetap memperkuat ikatan spiritual dengan alam sekitar dan leluhur mereka.

Setelah menjelajahi berbagai tempat suci dan memperkuat ikatan spiritual dengan leluhur, Hayam Wuruk dan rombongan terakhirnya tiba di Candi Simping. Di sana, sang raja memiliki niat untuk merestorasi candi makam leluhur. Ketika melihat Candi Simping yang sedikit miring ke barat, akibat dari pendarmaan Raden Wijaya, Hayam Wuruk memerintahkan pasukannya untuk menegakkan kembali menaranya sedikit ke arah timur.

Proses restorasi ini dilakukan dengan memperhatikan prasasti yang telah dibaca kembali, mengukur panjang dan lebar bangunan, dan memanfaatkan tugu yang sudah ada di sebelah timur sebagai titik acuan. Selain itu, untuk mendukung perbaikan ini, sebuah pura di lereng bukit digunakan sebagai denah untuk membangun kembali candi makam leluhur.

Catatan dalam Negarakertagama pupuh 70 secara spesifik menggambarkan kembalinya sang raja untuk mengunjungi Candi Simping. Pada tahun Saka angin delapan utama (1285), Hayam Wuruk melakukan kunjungan tersebut untuk memindahkan makam kakeknya. Seluruh prosesi dilaksanakan dengan penuh kepatuhan pada adat dan dipimpin oleh Rajaparakrama.

Baca Juga : Nekat Curi Laptop dan Gawai Rekan Kontrakan, Mahasiswa Ini Dibui

Setelah pulang dari Simping, Hayam Wuruk segera melangkah ke dalam pura. Namun, di ambang pintu, dia terdiam mendengar kabar bahwa Adimenteri Gajah Mada sedang sakit. Kehadiran Gajah Mada yang begitu penting dalam sejarah Majapahit membuat hati sang raja terpukul. Gajah Mada telah mengabdikan dirinya dengan penuh dedikasi untuk kemuliaan Jawa, bahkan hingga ke Bali dan Kota Sadeng, dalam upaya memusnahkan musuh.

Potongan kisah ini berasal dari perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Blitar, yang dicatat dalam Kitab Negarakertagama. Para ahli meyakini bahwa Hayam Wuruk sering melakukan kunjungan ke Blitar pada masa itu. Hal ini karena Blitar dianggap sebagai tanah suci kaum brahmana yang telah disucikan oleh leluhur Majapahit sebelumnya.

Dari catatan tersebut, perjalanan Hayam Wuruk menuju Candi Simping menjadi begitu menarik. Seperti jejak langkah yang menghidupkan kembali sejarah, kunjungan ke Candi Simping oleh Hayam Wuruk tampaknya menjadi bukti yang menguatkan bahwa tempat itu adalah makam dari Raden Wijaya, sosok proklamator dan pencetus awal Kerajaan Majapahit.
Candi Simping, sebuah peninggalan sejarah bercorak Hindu dari zaman Kerajaan Majapahit, terletak di Dusun Krajan, Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Situs ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting karena merupakan peninggalan dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.
Dalam kompleks candi ini, pernah ditemukan arca Harihara, yang menggambarkan gabungan dewa Siwa dan Wisnu sebagai perwujudan dari Raden Wijaya. Arca Harihara, yang masih dalam kondisi yang baik dan utuh, kini dijaga dan dipamerkan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Keberadaan arca ini menjadi bukti nyata akan kebesaran Raden Wijaya dan pentingnya peranannya dalam sejarah Majapahit.

Raden Wijaya, tokoh proklamator yang membangun Kerajaan Majapahit, meninggal dunia pada tahun 1309 Masehi. Setelah kematiannya, abunya dihormati dengan didarmakan di Candi Simping. Keberadaan candi ini yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Raden Wijaya ditegaskan dalam Kitab Negarakertagama Pupuh XLVII/3 bagian ketiga, yang berbunyi:

“Tahun Saka Surya mengitari bulan (1231 Saka atau 1309 M), Sang Prabu (Raden Wijaya) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam dia, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa”.

Candi Simping, yang dibangun dengan bahan dasar batu andesit, memiliki konstruksi yang elegan dan indah. Relief-relief yang terpahat dengan rinci menggambarkan berbagai macam binatang seperti singa, angsa, merak, burung Garuda, babi hutan, dan kera. Di sisi barat, terdapat tangga yang dulu digunakan sebagai jalan masuk ke ruang candi. Di tengah-tengah bangunan, terdapat batu kubus misterius dengan relief kura-kura dan naga yang saling mengait, mungkin digunakan sebagai tempat sesajian bagi para dewa.

Meskipun keadaan candi ini tidak memungkinkan untuk dipugar karena banyaknya bagian yang hilang, namun setiap detilnya menggambarkan keindahan arsitektur dan kekayaan kultural masa lalu. Kitab Negarakretagama menyebutkan Candi Simping sebagai tempat peristirahatan terakhir Raden Wijaya, meskipun terdapat perbedaan catatan dengan Candi Brahu di Trowulan. Namun, salah satu artefak berharga dari candi ini, arca setinggi 2 meter, kini dipamerkan di Museum Nasional Jakarta sebagai bagian dari warisan sejarah Majapahit yang tak ternilai harganya.

Dalam sorotan sejarah yang terpancar dari perjalanan Hayam Wuruk ke Blitar, kita tidak hanya menyaksikan restorasi fisik Candi Simping, tetapi juga penghormatan yang mendalam terhadap warisan spiritual dan budaya yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu. Dengan upaya memelihara dan menghargai warisan tersebut, kita berkomitmen untuk menjaga kekayaan budaya dan sejarah bagi masa depan yang lebih gemilang.

 Sebagai penutup tulisan ini, kita mengingatkan diri kita sendiri akan pentingnya memelihara dan menghormati akar-akar yang mengikat kita sebagai bangsa, sambil berharap bahwa semangat yang diperjuangkan oleh Hayam Wuruk dan para pendahulu kita akan terus membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih cerah.

Namun, kebesaran itu tidak berhenti pada kenangan semata. Seiring berjalannya waktu, tanggal 5 Mei 2024, di Desa Jimbe, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, akan menjadi momentum yang bersejarah dengan digelarnya Festival Desawarnana #2. Acara yang dirangkai sebagai peringatan akan perjalanan epik Raja Hayam Wuruk ke Blitar, tetapi lebih dari itu, festival ini adalah bentuk penghargaan dan penghormatan atas warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia.

"Festival Desawarnana ini diselenggarakan untuk mengenang kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Blitar pada tahun 1361. Nah, dari kunjungan bersejarah itu, kami terinspirasi untuk membuat kegiatan yang diikuti oleh desa-desa yang pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk,” terang Rahmanto Adi, panitia kegiatan dari Sulud Sukma, Rabu (24/4/2024). 

Melalui panggung Festival Desawarnana #2, semangat dan kebijaksanaan Hayam Wuruk akan terus dipersembahkan, diselami, dan diabadikan untuk generasi mendatang. Setiap pertunjukan seni, setiap pembicaraan tentang sejarah, dan setiap sentuhan budaya akan menjadi wujud penghargaan atas perjuangan dan pencapaian luar biasa dari seorang pemimpin yang tetap dikenang dalam relung-relung hati bangsa. Sebuah perayaan yang tak hanya memperingati masa lalu, tetapi juga menandai janji untuk menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur bagi masa depan yang gemilang.


Topik

Serba Serbi candi simping hayam wuruk raden wijaya raja majapahit



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya