JATIMTIMES – Diskusi membahas kebudayaan dan seni di Kabupaten Jember dilakukan oleh Nanang Handono Prasetyo pada Selasa (21/11/2023) malam bersama puluhan pelaku seni dan budaya dari berbagai kecamatan di Kabupaten Jember. Diskusi ini pun menjadi ajang ‘sambat’ pelaku seni.
Melalui diskusi dengan gaya lesehan, beberapa pelaku seni menyampaikan bahwa seni dan budaya lokal Kabupaten Jember saat ini seperti anak yang kehilangan bapaknya. Kesenian budaya lokal jarang sekali dilirik atau mendapat perhatian. Pelaku seni lokal hanya dilirik saat dibutuhkan.
Baca Juga : Darurat Pencurian Meteran PDAM, Tetangga Bupati Malang Jadi Sasaran
“Kami merasakan, selama ini pelaku seni dan budaya lokal.tidak pernah dilirik oleh pemerintah. Keberadaan kami hanya dilihat saat dibutuhkan saja. Istilahnya hanya dipakai saat dibutuhkan. Sedangkan untuk pembinaan maupun bentuk perhatian lain, nyaris tidak ada,” ujar Miswan, pelaku seni budaya asal Kecamatan Sukowono.
Hal yang sama juga disampaikan Lifyanto, pria asal Desa Sumbersalak, Ledokombo. Dia menyatakan, Kabupaten Jember memang tidak memiliki budaya dan seni asli daerah. Tapi Jember gudangnya pelaku seni dan seni dari berbagai daerah juga ada di Jember.
Menurut pria yang juga pengurus Dewan Kesenian Jember (DKJ) ini, jumlah kelompok seni di Jember ada ribuan, mulai dari Ludruk, jaranan, can macanan kaduk, reog, tanoker, musik patrol dan masih banyak lagi lainnya. Namun keberadaanya nyaris tenggelam.
“Kita akui, Kabupaten Jember tidak memiliki budaya atau seni asli daerah. Tapi Jember gudangnya pelaku seni, dan juga berbagai seni dan budaya dari luar daerah ada di Kabupaten Jember. Jika Jember bagian selatan identik dengan budaya dan seni wayang kulit, reog dan seni lainnya, di Jember bagian utara identik dengan ludruk, jaranan, dan juga can-macanan kaduk. Tapi sejauh ini, kehadirannya hanya pada momen-monen tertentu saja. Pemerintah seperti tidak ada upaya untuk melestarikannya,” ujar Cak Lif, panggilan Lifyanto,
Menanggapi keluhan para pelaku seni, Nanang, yang juga calon ‘penantang’ Hendy Siswanto dalam Pilkada 2024 mendatang menyatakan bahwa seni dan budaya di Kabupaten Jember sebenarnya bisa berkembang jika ada sentuhan dari pemangku kebijakan.
Tentunya pelaku seni juga harus bisa memberikan ciri khas atau identitas seni dan budaya tersebut berasal dari Jember, dengan cara mengadopsi kesenian dari daerah lain, namun tetap menunjukkan seni dan budaya kearifan lokal.
Baca Juga : Peduli Palestina, Dua Karya Lukisan Menakjubkan Ini Dilelang
“Kita semua tahu, reog berasal dari Ponorogo. Tapi di Jember juga banyak pelaku seni reog. Nah jika seni reog ini diadopsi dan menunjukkan ciri khas Jemberisnya, hal ini bisa menjadi ciri khas dan identitas seni itu sendiri. Jika ini bisa dimunculkan, orang akan melihat bahwa ini reog Jember dan bukan reog Ponorogo. Tentu hal ini harus ada sentuhan dari pemangku kebijakan, dengan memberikan pembinaan dan supprotnya,” ujar Nanang.
Pria yang juga pernah menjadi staf ahli pada proyek IKN (Ibu Kota Nusantara) ini mencontohkan sebuah seni ludruk. Dulu seni ludruk identik dengan bahasa dan dialog khas Suroboyoan karena memang banyak pelaku seni ludruk lahir dari Kota Pahlawan ini.
Namun di Jember, seni ludruk sudah memiliki ciri khas sendiri,l karena bahasa yang digunakan bukan bahasa atau dialog khas Suroboyoan. Tapi bahasa yang digunakan lebih banyak menggunakan bahasa Madura.
“Dulu seni ludruk identik dengan bahasa Suroboyoan. Tapi di Jember, seni ludruk menggunakan bahasa Madura, sehingga ada toping-toping atau tambahan budaya kearifan lokalnya. Nah hal ini yang akan membedakan seni di Kabupaten Jember,” pungkas Nanang.