JATIMTIMES - Diskusi Proaktif Kolega (DISPORA) Vol. 4 yang diselenggarakan oleh HIMAPOLITIK FISIP UB, Senin (30/10/2023) telah menjadi wadah penting dalam menggali isu yang mendalam mengenai "Perempuan dalam Bayang-bayang Marginalisasi Struktural".
Dalam seminar ini, empat pemateri dari berbagai latar belakang memberikan pandangan yang kaya akan nuansa terkait isu ini. Pemateri pertama Dyah Kemala Hayati seorang akademisi hukum menyoroti bahwa marginalisasi memiliki dua dimensi, yakni kesengajaan dan ketidaksengajaan.
Baca Juga : Tim Sepak Bola SMA Negeri 1 Pesanggaran Juara LPI Kabupaten Banyuwangi 2023
Ia menegaskan bahwa kesadaran akan tindakan diskriminasi terhadap perempuan perlu ditingkatkan, karena tindakan marginalisasi dapat merugikan hak dan akses individu.
“Tindak kekerasan itu munculnya itu salah satunya adalah dari marginalisasi. Yang penting sekali kita untuk membahas pemahaman, sebetulnya itu akarnya ini kita secara sadar atau tidak. Karena memang berbicara kesengajaan artinya adalah pemutusan hak individu, itu terkait marginalisasi” imbuh Dyah.
Marchellina Shagyna A. dari APBH YLBHI-LBH Malang, menjelaskan bahwa menurutnya marginalisasi terhadap perempuan kini bersifat kultural. Ia menyoroti bahwa struktural mempengaruhi kultural, khususnya dalam konteks hukum.
Dia menegaskan pentingnya memeriksa substansi, struktur, dan kultur hukum dalam memahami marginalisasi perempuan. Sekarang bisa dibilang kalau marginalisasi perempuan ini sudah masuk ke kultural. Kenapa? Karena marginalisasi terhadap perempuan sendiri itu sudah kayak hal yang dinormalisasikan. Perempuan yang dianggap benda itu kayak biasa aja” jelas Marchellina
Selanjutnya seorang perwakilan dari NGO Women Crisis Center, Ruci Primaharani, menyoroti peran budaya patriarki dalam menghasilkan struktur sosial yang merugikan perempuan. Dia menegaskan bahwa kultural patriarki telah merembet ke dalam kebijakan publik dan politik yang menyebabkan kurangnya kesetaraan gender.
“Bahkan bisa dibilang, presiden, pemilu, visi-misi capres-cawapres yang mengusung soal perempuan itu baru ada di tahun ini. Itu hanya apa yang disoroti? Ibu hamil. Visi-misinya Prabowo. Itu yang satu-satunya yang muncul soal visi-misi yang disebutkan soal perempuan” ujarnya.
Baca Juga : Viral, Jemaah Perempuan Teriak Histeris di Depan Kakbah, Mengapa?
Diskusi semakin mendalam ketika Zakiyatul Wachdaniah T. dari Women March Malang menyoroti kompleksitas hubungan antara struktural dan kultural dalam marginalisasi perempuan. Dia menekankan bagaimana patriarki yang terstruktur dalam masyarakat telah menjadi kultural dan membentuk peradaban.
“Patriarki itu sudah menjadi produk budaya yang membentuk satu peradaban. Itu yang perlu kita pahami. Dan memang akhirnya meskipun kelihatannya bagi kita, karena iya dari struktural harusnya kan kebalik ya, misalnya dari budaya dulu, baru itu nanti menjadi struktural” tandasnya.
Seluruh diskusi menyoroti bahwa masalah marginalisasi perempuan tidak hanya kultural atau struktural, melainkan kompleks, melibatkan faktor-faktor yang tidak selalu terlihat secara langsung. Mereka menegaskan bahwa perubahan dalam budaya dan struktur sosial memerlukan waktu yang panjang dan pendekatan yang holistik.
Seminar ini menyoroti bahwa solusi dari masalah ini memerlukan perubahan dalam pemikiran aktor-aktor yang berkuasa serta perubahan struktur sosial yang telah tertanam dalam budaya patriarki selama bertahun-tahun.