free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Wisma Darmadi, Saksi Bisu Perjuangan Bupati Blitar, Ayah Pahlawan PETA Supriyadi Melawan Belanda

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

16 - Aug - 2023, 21:00

Placeholder
Potret Raden Darmadi semasa hidup (kanan) dan rumah peninggalannya Wisma Darmadi yang bersejarah. (Foto : Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES- Di Kecamatan Sananwetan Kota Blitar tepatnya di Jalan Sudhanco Supriyadi banyak berjejer rumah-rumah bergaya kolonial. Sebagian dari rumah-rumah itu masih terjaga keasliannya dan jika dilihat dari depan belum terlalu banyak direnovasi. 

Satu dari rumah itu nampak berukuran cukup kecil, halamannya pun sempit, di atas pintu depan terdapat tulisan “Wisma Darmadi”.

Baca Juga : Kabupaten Banyuwangi Tantang Tuan Rumah, Berebut Juara Pra-Kualifikasi Sepak Bola Porprov VIII Jatim

Sekilas Wisma Darmadi nampak seperti bangunan biasa saja. Namun siapa yang menyangka, rumah yang sangat sederhana itu merupakan saksi bisu perjuangan Bupati ke-9 Blitar Raden Darmadi melawan penjajah Belanda. 

Raden Darmadi adalah ayah dari pahlawan pemberontakan PETA dari Blitar Shodanco Supriyadi. Di rumah ini pulalah, Supriyadi muda sempat tinggal sebelum akhirnya masuk tentara PETA.

Ya, masih jarang diketahui masyarakat tentang rumah Raden Darmadi ini. Rumah tersebut berada di tengah-tengah kota tepatnya di Jalan Shodanco Supriyadi nomor 46, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Rumah tersebut saat ini ditinggali oleh Suroto yang merupakan adik dari Pahlawan Nasional Shodhanco Supriyadi.

Tampak depan bangunan, berciri khas model bangunan kolonial Belanda yang masih belum mendapat renovasi. Sekitar halaman terlihat berdebu dan ada ranting-ranting pohon. 

Rumah tersebut dibeli Raden Darmadi sekitar tahun 1933. Pada waktu itu Darmadi adalah pegawai negeri Hindia Belanda yang ditugaskan di wilayah Nganjuk. Supriyadi waktu itu masih kecil, ia ikut kemanapun ayahnya ditempatkan dinas.

 “Wisma Darmadi merupakan kediaman keluarga tokoh pahlawan Indonesia, yang tak lain adalah Soedhanco Supriyadi, kepala pasukan PETA pemrakarsa perlawanan memperjuangkan hak- hak rakyat dari belenggu Kependudukan Jepang di Indonesia, terutama di Blitar,” kata Sejarawan Ferry Riyandika.

Meskipun nampak berukuran kecil dari depan, rumah peninggalan Raden Darmadi itu ternyata cukup luas. Bangunan itu memanjang dari bagian depan ke belakang.Di bagian dalam, terdapat foto-foto kenangan Raden Darmadi dan Ibu Susilih (istri kedua, ibu tiri Supriyadi). Terdapat pula foto-foto Raden Darmadi, Ibu Susilih dan adik-adik Supriyadi. 

Di ruang tamu terdapat lukisan Supriyadi berukuran besar dan lukisan pemimpin Perang Jawa Pangeran Diponegoro dengan ukuran cukup besar.

Tidak ada barang mewah di rumah bersejarah ini. Yang ada hanya kursi-kursi model klasik serta perabot rumah tangga peninggalan Darmadi. Seluruh barang-barang itu dirawat oleh Suroto yang telah berusia senja. 

Selain perabot, kamar Bupati Darmadi juga masih terjaga keasliannya. Keaslian ini memang benar-benar dipertahankan karena keluarga besar Darmadi menyadari rumah ini adalah saksi sejarah perjuangan Raden Darmadi dan Supriyadi melawan penjajah. 

Rumah Darmadi juga memiliki halaman yang cukup luas di bagian belakang. Di bagian belakang terdapat sumur kuno, dapur di bagian samping dan sebuah kamar berukuran cukup luas yang ditempati Suroto.

Santer beredar kabar, keluarga besar Raden Darmadi berencana menjual rumah bersejarah ini. Tingginya biaya perawatan menjadi alasan dari pihak keluarga untuk menjual rumah ini. 

Banyak pihak menyarankan agar rumah itu dibeli Pemkot Blitar. Namun, wali kota Blitar saat ini yaitu Santoso meragukan nilai historis dari Wisma Darmadi sehingga pembelian rumah bersejarah ini urung dilakukan.

“Untuk mengenang perjuangan ayah Shodanco Supriyadi, Wisma Darmadi tempat tinggal Raden Darmadi setelah menjabat sebagai Bupati Blitar dapat dijadikan Museum yang menceritakan kesejarahan beliau. Apalagi di sebelah baratnya tepatnya di Museum PETA  merupakan museum yang nantinya dikhususkan kepada perjuangan putranya yakni Supriyadi,” tegas Sejarawan Ferry Riyandika.

Raden Darmadi, namanya memang tak setenar dari puteranya pahlawan pemberontakan PETA Shodanco Supriyadi. Jangankan masyarakat awam, pemerintah daerah Blitar pun nampaknya tidak tahu sepak terjang Darmadi dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Awamnya wawasan sejarah itu terbukti, Darmadi tidak masuk dalam daftar penerima penghargaan Achievement Blitar Land of Kings yang diberikan Pemkab Blitar di puncak peringatan Hari Jadi ke-699 Blitar pada 5 Agustus 2023 yang dipusatkan di Pendapa Agung Ronggo Hadi Negoro.

Darmadi dikenal sebagai bupati dengan gaya hidup sederhana. Di balik kesederhanaanya, Darmadi  dalam catatan sejarah punya andil untuk terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. 

Setelah penjajah pergi dari negeri ini, sumbangsih Darmadi untuk pembangunan Blitar pasca kemerdekaan sungguh luar biasa. Tak hanya itu, Darmadi juga adalah bupati pertama Kediri setelah proklamasi kemerdekaan. Ia menutup kariernya yang panjang sebagai Bupati Blitar.

Raden Darmadi mengawali kariernya di pemerintahan sebagai pegawai Hindia Belanda. Sering berpindah tugas dari satu kota ke kota lain di Jawa Timur, puncak karier Raden Darmadi di pemerintahan adalah ketika menjabat Bupati ke-12 Kediri (1945) dan Bupati ke-9 Blitar (1945-1947 dan 1950-1956).

Selain terkenal di kalangan masyarakat Blitar, Darmadi juga cukup dikenal kiprahnya di Kecamatan Gorang-Gareng Kabupaten Magetan. Ya, bagi kalangan sepuh Gorang-Gareng, Darmadi meninggalkan memori tak terlupakan saat menjabat wedana di wilayah tersebut. 

Baca Juga : Serentak di Tujuh Kota, Gerakan Masif Gelar Refleksi Kemerdekaan

Darmadi menjabat Wedana Gorang-Gareng pada 1919, saat masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Tahun-tahun saat Darmadi jadi pejabat, Bupati dan pegawai negeri di Jawa Timur pada masa itu bukan lagi utusan keraton, tapi pegawai Hindia Belanda.

Pada masa itu, Gorang-Gareng masuk dalam wilayah Kabupaten Madiun dan dikenal sebagai sarang para penyamun. Praktek perampokan, penjarahan, dan perbanditan saat itu cukup marak dan mencengkeram keamanan warga. Para rampok mengamuk dengan merampok perkebunan, pribumi hingga warga keturunan Tionghoa.

Madiun adalah daerah di Jawa Timur yang menyimpan jejak sejarah besar. Dan bagi kalangan keraton serta penganut kejawen, Gorang-Gareng merupakan tempat suci. Di daerah di gunung yang disebut Gunung Bancak, terdapat makam Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Maduretno adalah permaisuri Bupati Madiun Raden Ronggo Prawirodirdjo III dan putri Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta. 

Maduretno dikenal sebagai putri tercantik dari Jogja dan pejuang yang gigih melawan Belanda. Bagi rakyat Madiun Raya, Maduretno hingga kini dipuja dan dianggap sebagai pahlawan. Gunung Bancak berlokasi di Desa Giripurno Kecamatan Gorang-Gareng, saat Darmadi menjadi Wedana, desa itu merupakan wilayah perdikan Keraton Yogyakarta.

Darmadi yang saat itu menjadi wedana di daerah tersebut tampil sebagai pemimpin di garis depan. Bersama-sama dengan masyarakat setempat, Darmadi berhasil melumpuhkan kelompok perampok yang mengacak-acak keamanan daerah Gorang-Gareng. Keberhasilan ini menjadi awal karier cemerlang baginya, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mempromosikannya naik jabatan.

Karier Darmadi semakin meroket saat putranya Raden Supriyadi beranjak dewasa. Saat kolonalisme beralih dari Belanda ke Jepang, Darmadi dimutasi sebagai pegawai pemerintah di Kabupaten Kediri. 

Kariernya semakin menanjak, pada pertengahan 1944, Darmadi naik jabatan lagi menjadi patih di Nganjuk. Tak lama menjabat patih di Nganjuk, Darmadi digadang-gadang sebagai calon terkuat Bupati Kediri.

Belum sampai Darmadi dilantik sebagai bupati Kediri, Nusantara yang dikuasai Jepang dikejutkan dengan Pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin Supriyadi. Supriyadi adalah putra pertama Raden Darmadi. 

Pemberontakan ini membuat Darmadi ikut terseret, ia ditangkap pasukan Jepang  dan kemudian dijebloskan ke kantor Kompetei di Blitar. Darmadi tidak sendirian, para orang tua pasukan PETA yang ikut dalam pemberontakan juga dijebloskan ke penjara.

Raden Darmadi akhirnya keluar penjara setelah Jepang dikalahkan sekutu. Ia kemudian diangkat menjadi Bupati Blitar pada tanggal 23 Oktober 1945. Raden Darmadi menjabat bupati selama kurang lebih dua tahun hingga tahun 1947. Tidak lamanya jabatan ini karena pada masa itu wilayah Blitar ikut bergejolak dengan meletusnya Agresi Militer Belanda  II. 

Kedatangan Belanda ini Darmadi tidak tinggal diam, ia memutuskan untuk ikut angkat senjata. Jiwanya membela rakyat kembali muncul, sama seperti ketika ia menjabat wedana di Gorang-Gareng.

“Raden Darmadi patut diapresiasi sebagai tokoh penting dalam Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah Blitar ketika meletus Agresi Militer Belanda. Bahkan ketika Blitar dan daerah Lodoyo dijadikan Ibukota Provinsi Jawa Timur, Raden Darmadi bersama Wakil Gubernur Jawa Timur saat itu, Raden Samadikun tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda," tegas Ferry Riyandika.

Darmadi, orang yang dikenal lincah itu membentuk pasukan yang terdiri dari para Wong Blitar. Keputusan Darmadi pada masa itu tergolong berani. Pada masa itu, banyak pejabat di Kota Blitar yang memihak Belanda. Darmadi bersama Raden Samadikun (sebelumnya juga menjabat Bupati Blitar), berjuang dengan bergerilya di wilayah Blitar selatan.

“Bersama Samadikun inilah, Darmadi membentuk pemerintahan darurat  di sekitar Lodoyo, Blitar Selatan. Pembentukan pemerintahan darurat ini untuk menunjukkan pemerintahan daerah Blitar tetap eksis menopang perjuangan kemerdekaan Indonesia , kendati pusat Kota Blitar telah dikuasai Belanda,” jelas pendiri Blitar Heritage, Herry Setyabudi.

Beberapa saat kemudian setelah Konferensi Meja Bundar, pada tanggal 27 Desember 1949, Jawa Timur dikembalikan oleh Belanda kepada Pemerintah RI. Raden Darmadi menjabat kembali menjabat sebagai Bupati Blitar. Bupati Blitar adalah puncak karier Darmadi di pemerintahan. Ia menjabat jabatan bupati sampai pensiun. Setelah pensiun, ia menikmati hari tuanya dengan damai bersama keluarganya di rumah yang saat ini bernama Wisma Darmadi.

Sebagai informasi, berdasarkan catatan silsilah, Raden Darmadi adalah putera dari Raden Prawirokusumo, seorang bangsawan dan pegawai Hindia Belanda keturunan KRT Sosrokoesoemo (Kanjeng Jimat Brebek, bupati pertama Nganjuk). Selama hidupnya, Raden Darmadi menikah dua kali. Pernikahan pertama adalah dengan Roro Rahayu, bangsawan Jawa keturunan Kasultanan Mataram. Roro Rahayu meninggal dunia saat Supriyadi masih kecil. Setelahnya, Raden Darmadi menikah lagi dengan seorang bangsawan Jawa bernama Susilih.

Dari pernikahan pertama dengan Roro Rahayu, lahirlah Raden Supriyadi, si bayi kecil yang di kemudian hari tampil sebagai ksatria Nusantara melawan penjajah Jepang dalam pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Blitar Wisma Darmadi PETA Supriyadi sejarah blitar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri