JATIMTIMES - Peringatan Hari Jadi ke-699 Blitar yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Blitar berlangsung sukses dan meriah. Puncak dari agenda ini adalah Pisowanan Agung yang digelar di Pendapa Agung Ronggo Hadi Negoro, Sabtu (5/8/2023).
Pisowanan Agung peringatan Hari Jadi ke-699 Blitar ini dirangkai dengan beberapa kegiatan. Salah satunya pemberian penghargaan Achievement Award Blitar Land of Kings kepada tokoh-tokoh berpengaruh dari Blitar.
Baca Juga : Kejari Kota Malang Cek Revitalisasi Alun-alun Tugu: Progres Pembangunan Sangat Bagus
Salah satu tokoh yang menerima penghargaan ini adalah Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo, patih Kabupaten Blitar yang hidup di pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Penghargaan Achievement Award Blitar Land of Kings ini adalah pertama kalinya di Kabupaten Blitar.
Penghargaan ini sangat pantas diterima oleh Djojodigdo. Kiprahnya sebagai patih Kabupaten Blitar memang benar-benar meninggalkan warisan pembangunan yang luar biasa untuk Bumi Penataran. Bersama dengan Bupati kedua Blitar KPH Warsoekoesoemo, Djojodigdo berhasil meletakkan dasar-dasar pembangunan infrastruktur di Blitar yang bisa disaksikan oleh generasi hari ini. Jembatan, jalan-jalan protokol, dan bangunan-bangunan kolonial banyak dibangun pada era Bupati Warsoekoesoemo-Patih Djojodigdo. Jabatan patih pada waktu itu adalah administratur tertinggi dibawah bupati.
Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo lahir pada 29 Juli 1827 di tengah-tengah meletusnya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Diperkirakan Djojodigdo lahir di Kabupaten Kulonprogo. Ia merupakan putra dari Raden Tumenggung Kartodiwirjo dan cucu Raden Tumenggung Kartoprodjo, Bupati Kulonprogo. Djojodigdo juga adalah menantu dari Raden Mas Ngabehi Pringgodigdo, Bupati Berbek yang wafat pada tahun 1866 dan dimakamkan di Setono Gedong Kota Kediri.
Dari beberapa sumber disebutkan, Raden Tumenggung Kartodiwirjo ayah Djojodigdo merupakan simpatisan Pangeran Diponegoro. Saat meletus Perang Jawa , Kartodiwirjo yang saat itu menjabat bupati Kulonprogo memberikan dukungan kepada sang pangeran. Keputusan ini berdampak terhadap berkahirnya karier pemerintahan Kartodiwirjo sebagai bupati Kulonprogo. Setelah Perang Jawa berakhir dengan tertangkapnya Diponegoro pada 1830, Kartodiwirjo ikut jadi target orang yang diburu Belanda.
Djojodigdo menjadi patih di Kabupaten Blitar mendapingi Bupati KPH Warsokoesoemo yang terlebih dulu menjabat sejak 3 Mei 1869. Djojodigdo dilantik sebagai patih pada 8 September 1877. Ia menjabat patih ketika Blitar sudah tidak lagi menjadi bagian wilayah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejak 31 Desember 1830, Blitar dan daerah-daerah lain di wilayah Mancanegara Timur (Jawa Timur) resmi masuk dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
Duet Bupati Warsokoesoemo dan Patih Djojodigdo diharapkan Belanda menjadi pembawa perubahan bagi Kabupaten Blitar yang hancur lebur. Harapan ini karena pemerintahan bupati Blitar sebelumnya yakni Raden Adipati Ronggo Hadi Negoro sangat penuh dengan konspirasi dan skandal korupsi. Kabupaten Blitar pada waktu itu masih merupakan kabupaten baru di Hindia Belanda, dan pemerintahannya benar-benar jadi sorotan publik akibat skandal pemerintahan yang korup.
Bawadiman Djojodigdo adalah bangsawan keturunan dari Keraton Mataram. Ia adalah orang yang cerdas, ahli ilmu bela diri dan sepak terjangnya benar-benar memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan Kabupaten Blitar pasca skandal korupsi besar di era pemerintahan Ronggo Hadi Negoro. Duet Warsoekoesoemo-Djojodigjo mampu berjalan harmoni seirama dan bisa bekerja baik dengan pegawai negeri Belanda.
Baca Juga : Prodinya Orang Sukses, PPKn Unisba Blitar Gelar Seminar Partisipasi Politik di MA Syech Subakir Nglegok
Selain mampu jadi penghubung penguasa kelonial, Djojodigdo juga menjadi motor bagi lahirnya kebijakan-kebijakan dan pengambilan keputusan untuk kemajuan pembangunan Kabupaten Blitar pada waktu itu. Djojodigdo sangat pantas disebut sebagai Bapak Pembangunan Blitar. Stasiun Kereta Api Blitar adalah proyek strategis yang diresmikan pada 16 Juni 1884 saat Djojodigdo menjadi patih.
“Djojodigdo sadar akan keadaan. Belanda tidak mungkin bisa berdiri tanpa orang-orang pribumi oleh sebab kondisi (Jawa dan Blitar) sudah sedemikian kritis (dampak Perang Diponegoro). Pun demikian sebaliknya, orang-orang Jawa , khususnya para penguasa Jawa sudah terlanjur lumpuh dan kehabisan tenaga untuk mempertahankan sikap dendamnya kepada Belanda. Oleh karenanya tidak ada salahnya untuk berkolaborasi dengan sang mantan musuh untuk kepentingan yang lebih besar, yakni membangun puing-puing peradaban yang hampir roboh,” jelas pendiri Blitar Heritage, Herry Setyabudi.
Djojodigdo memiliki empat istri dan 30 orang anak. Kesuksesan Djojodigdo berkarier di pemerintahan juga diikuti oleh anak-anaknya. Djojodigdo tidak pernah menempuh pendidikan formal, namun ia mengirimkan anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik di tempat-tempat khusus pendidikan yang disediakan pemerintah. Beberapa putra Djojodigdo yang paling terkenal sebut saja Raden Ngabehi Pringgokosoemo (Jaksa Nganjuk) dan KRMAA Singgih Djojo Adhiningrat (Bupati Rembang). Nama terakhir yakni Singgih Djojo Adhiningrat adalah suami dari pahlawan emansipasi wanita Raden Ajeng Kartini.
Di masyarakat Blitar hingga saat ini, ketokohan Patih Djojodigdo masih terus diingat dan diceritakan lisan seperti kisah legenda. Di luar kiprahnya sebagai patih, orang-orang lebih banyak menceritakan Patih Djojodigdo secara fantasi sebagai orang yang sakti dan memiliki ajian pancasona. Makamnya yang berada di Jalan Melati Kota Blitar banyak diziarahi orang dan tersohor dengan sebutan makam gantung. Hal demikian tentu sah-sah saja karena orang Jawa sejak dulu kala dikenal menyukai cerita-cerita yang berbau mistik.
Djojodigjo juga sering dikait-kaitkan dengan Rampogan Macan. Tradisi kuno ala gladiator Jawa yang hidup di Blitar pada akhir abad 18 hingga awal abad 19. Tradisi ini memainkan pertarungan antara manusia dengan harimau Jawa di Alun-alun Blitar.