Isu gender, sepenggal kalimat yang sering menjadi tema pembahasan dan perhatian masyarakat. Bukan hanya di Indonesia, gender juga sangat familiar menjadi isu yang sensi dalam komunitas internasional.
Latar belakang gender, bukan sebuah istilah yang mengacu pada karakter biologis pria dan wanita secara fisik belaka.
Baca Juga : Ketua Umum GISLI Bantu Seratus Jaket Keselamatan untuk Nelayan Muncar
Mansoer Fakih, dalam bukunya yang berjudul "Analisis Gender dan Tranformasi Sosial" menjelaskan ke arah kecenderungan sifat yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Definisi ini jelas menunjukkan bahwa gender adalah sifat atau karakter maskulin atau feminin yang sebenarnya bisa muncul pada diri pria ataupun wanita.
Gender juga merupakan suatu produk dari konstruksi sosial budaya dan hal ini menegaskan konsepsi dapat berbeda antar kelompok, serta berubah seiring perkembangan zaman.
Konsepsi gender ini, pada tahun 1920 an dipahami sebagai suatu perbedaan antara pria dan wanita yang sifatnya atribut personal atau fisik secara biologis.
Akibatnya, terjadi perbedaan konstruksi peran dan fungsi sosial tertentu serta perilaku yang seharusnya melekat pada pria atau wanita.
Maka, memahami gender sebagai perbedaan tidak lagi hanya terkait hubungan personal tapi juga struktur sosial. Sehingga perbedaan gender ini kemudian melegitimasi ketidaksetaraan sosial yang lebih menghargai pria (laki-laki) daripada wanita (perempuan).
Dari hasil berbagai penelitian, faktor penyebab diskriminasi gender ada tiga hal pokok, yaitu biologis, budaya dan agama. Sedangkan bentuk diskriminasi ini diantaranya, marjinalisasi, suborsinasi, stereotipe, kekerasan hingga beban ganda.
Banyak sekali, peristiwa yang disajikan media massa mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap bias gender. Media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan gender, namun di sisi lain justru dapat melestarikan dan memperburuk ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat.
Opini di media massa masih menunjukkan bahwa gaya hidup wanita dominan menjadi obyek daripada subyek. Sulit bagi wanita untuk memiliki citra gender yang sepadan dari sudut pandang media.
Secara lokal saja, misalnya di tempat penulis tinggal yaitu Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mendefinisikan bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Pandangan yang umum di masyarakat juga masih menganggap status pria lebih tinggi daripada wanita.
Baca Juga : Jaga Keselamatan Maritim, Irjen Mudji Resmikan GISLI Banyuwangi
Hal yang terjadi yang menyangkut isu wanita sebagai obyek berita akan menarik ditulis oleh media dan menjadi konsumsi baca yang laris.
Dari fakta-fakta ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat tentang perbedaan gender dapat berakibat diskriminasi dan ketidakadilan pada perempuan.
Penulis berpendapat, dalam hal kesempatan berkarya, persepsi pria lebih tinggi dari wanita harus ditolak. Namun, dalam sisi amaliah beragama (islam), pria sebagai pemimpin atau imam harus dihormati.
Pemberdayaan perempuan dalam media baik sebagai jurnalis atau nara sumber dapat membuka kesadaran masyarakat, bahwa keseteraan gender sangat diperlukan.
Pada dasarnya, wanita tidak hanya memamerkan penampilan belaka, tetapi terbukti juga memilki banyak potensi yang dapat digali untuk berbagai peran dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai sumber informasi yang populer di masyarakat, peran media massa sangat penting untuk mengkampanyekan kesetaraan gender ini.
Penulis : Anang Basori
Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia