JATIMTIMES - Belum lama ini YouTuber Alshad Ahmad tengah menjadi sorotan lantaran hewan peliharaannya yakni seekor bayi harimau bernama Cenora mati. Lantas banyak pertanyaan yang muncul di publik sebenarnya memelihara harimau itu konservasi atau monetisasi?
Menjawab pertanyaan itu, akun twitter @pacmannai atau Pacmann Media membagikan utas soal hal itu. Dalam cuitannya, AZ Animals melaporkan bahwa secara keseluruhan rata-rata populasi harimau di tahun 2023 kurang dari 10.000 ekor saja, baik di Alam liar maupun penangkaran.
Baca Juga : Pemerintah Banyuwangi Terus Gelar Operasi Pasar Elpiji 3 Kg
Harimau liar tersebut terbagi ke dalam beberapa jenis. Mulai dari Harimau Sumatera hingga Harimau Indo Cina. Sayangnya, menurut kategorisasi IUCN Redlist, semua jenis harimau tersebut telah tercancam punah (ketika jumlah harimau menurun 50% sampai lebih dari 70% dalam 10 tahun terakhir) bahkan kritis (ketika jumlah harimau menurun 80% hingga lebih dari 90% dalam 10 tahun terakhir).
Di Indonesia sendiri, memiliki 3 jenis harimau asli dari Indonesia. Di antaranya Harimau Bali (Panthera Tigris Balica) punah pada 1930, Harimau Jawa (Panthera Tigris Sondaica) punah pada 1980, dan satu spesies tersisa yaitu Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae).
Dalam penjelasan IUCN Redlist, ada 3 faktor penurunan jumlah harimau. Yakni habitat yang rusak, konflik antara harimau dengan warga, hingga adanya pasar ilegal (pemburuan harimau). "Bahkan kurang lebih 50 tahun ke depan dari tahun 2018 eksistensi dari harimau tersebut bisa saja hilang," penjelaaan IUCN Redlist yang dikutip oleh akun tersebut.
Meskipun harimau di Indonesia ialah satwa liar yang dilindungi, namun BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) masih mengizinkan masyarakat umum untuk memelihara harimau dengan tujuan pelestarian. Syaratnya, hewan tersebut berasal dari penangkaran dan merupakan generasi ke-3.
Kebijakan tersebut akhirnya menuai pro-kontra. Sebab, pemeliharaan harimau oleh perseorangan sulit untuk dipantau dan diawasi asal usulnya, hingga cara mereka memelihara.
Laporan Born Free USA menduga penyebab penurunan jumlah harimau adalah tren memelihara harimau di US (7.000 ekor di tahun 2018).
Indonesia pun tidak mau ketinggalan karena munculnya konten kreator hingga pejabat yang dengan bangganya memamerkan harimaunya di media sosial. Lantas apakah merawat harimau murah?
Menguitip konten YouTube yang dibagikan Alshad Ahmad dijelaskan jika biaya merawat harimau sangat mahal. Meliputi makanan, kesehatan, dan perlengkapan lainnya ditaksir mencapai Rp70-100 juta per-bulan untuk 2-3 harimau. Artinya, seekor harimau memerlukan biaya sekitar Rp30 juta/bulan.
"Bayangkan, uang sebanyak itu seharusnya bisa didonasikan langsung ke lembaga konservasi satwa liar resmi negara atau bahkan dunia," tulis akun tersebut.
Tak hanya itu, ketika memelihara harimau juga ada risiko yang cukup besar. Mulai dari risiko terkena penyakit satwa liar hingga harimau yang sulit dijinakan.
Namun mengapa masih banyak orang kaya yang memelihara harimau? Lisa Wathne, manajer satwa liar Humane Society US, menjelaskan alasan utama seseorang memelihara satwa liar (harimau) sebagai koleksi ialah ego dan prestise, atau justru sebagai sarana hiburan digital untuk dimonetisasi.
Termasuk di Indonesia, YouTuber Indonesia Alshad Ahmad juga kerap mengunggah rutinitas bersama harimau peliharaannya. Harimau diperlakukan bak hewan domestik seperti kucing & anjing.
Alshad pertama kali unggah video di channel YouTube-nya pada 25 Juni 2014 hingga saat ini memiliki 6,4 juta subscriber pada Juli 2023. Video pertamanya adalah konten bersama 2 anak rusa yang dipeliharanya.
Dengan 455 video dan lebih dari 1 miliar views dari seluruh videonya, penghasilan Alshad dari YouTube diperkirakan mencapai $25.3k (setara Rp 264 juta) per bulan.
Angka ini lebih besar dibandingkan dengan taksiran biaya untuk merawat 2 ekor harimau, sebesar Rp 100 jutaan per bulan.
Kenaikan konten Alshad mencapai puncaknya pada Februari hingga April 2022 ketika Selen (seekor Harimau Putih dari Afrika Selatan yang saat itu berusia 3 bulan) mulai muncul & hadirnya Golden Eagle (Burung Elang Emas) yang diklaim hanya ada 2 di Indonesia.
Baca Juga : 15 Media Siber Indonesia Mundur dari AMSI, Mengapa?
Konten Selen yang populer di YouTube Alshad diantaranya memberi makan Selen untuk pertama kali, mengajak bermain di luar kandang, mengeloni Selen sampai tertidur, hingga memandikan Selen, seolah-olah seperti hewan jinak peliharaan pada umumnya.
Lantas adakah aturan yang secara khusus membatasi monetisasi konten satwa liar di sosial media? Menurut akun tersebut, beberapa platform seperti YouTube, Facebook, dan TikTok secara jelas melarang konten yang mengandung penyiksaan terhadap hewan
Namun, konten mengenai satwa liar yang dijadikan sebagai peliharaan bukan termasuk pelanggaran eksplisit terhadap kebijakan platform. Meskipun menurut Social Media Animal Cruelty Coalition, menjadikan satwa liar sebagai konten dikategorikan dalam kekerasan satwa.
"Efek negatif dari konten sejenis itu bisa terlihat dari komentar yang sering dikaitkan dengan keinginan untuk memiliki hewan liar sebagai peliharaan," jelas akun tersebut.
"Dampak paling fatalnya ialah kematian satwa liar karena perbedaan lingkungan hidupnya dengan yang seharusnya di alam liar," imbuh keterangan akun tersebut.
"Ditambah lagi dengan fakta bahwa sudah terdapat beberapa ekor satwa liar yang mati. Semakin kuat dugaan bahwa terdapat hal yang salah dengan pemeliharaannya," tambahnya lagi.
Maka disimpulkan jika kekerasan terhadap satwa bukan hanya yang terjadi secara eksplisit seperti penelantaran, menampilkan adegan penyelamatan palsu, ataupun mendorong penyiksaan fisik dan psikis terhadap hewan. Namun juga secara implisit menjadikan hewan sebagai konten yang bisa dimonetisasi.
Sayangnya, beberapa platform belum memasukkan perlindungan terhadap satwa liar yang dipelihara ke dalam kebijakan mereka. Jadi bukan hal yang asing jika kita masih sering melihat konten satwa liar yang berkeliaran di rumah para content creator.
Lantas apa yang bisa dilakukan jika melihat konten demikian?
1. Sadari konten yang berisi kekerasan terhadap satwa baik yang tampak di depan layar ataupun mungkin terjadi di belakang layar;
2. Laporkan konten dan ajak orang lain untuk melakukan hal yang sama;
3. Jangan terlibat apapun seperti memberi like, komentar, dan sharing konten tersebut di home sosial mediamu;
4. Mulai berpikir kritis dan diskusi untuk kesejahteraan satwa liar tersebut.
Demikian ulasan tentang memelihara harimau itu konservasi atau monetisasi. Semoga mengedukasi.