free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Pajimatan Imogiri, Makam Raja-Raja Mataram yang Dibangun Setelah Sultan Agung Bergelar Susuhunan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

29 - Jun - 2023, 16:36

Placeholder
Gerbang dan tangga masuk menuju kompleks makam Sultan Agungan di Pajimatan Imogiri pada tahun 1890.(Foto : Tropenmuseum/KITLV)

JATIMTIMES - Dinasti Mataram Islam memiliki banyak situs bersejarah yang tersebar di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu diantara peninggalan bersejarah yang hingga kini masih aktif digunakan adalah Makam Raja-Raja Mataram di Imorigi, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Selain diperuntukkan bagi keluarga kerajaan, Makam Imogiri juga jadi destinasi yang dapat dikunjungi wisatawan di hari-hari tertentu.

Baca Juga : Mayoritas Gen Z dan Milenial Lebih Suka Beli Makanan di Luar

Makam Raja Mataram Imogiri atau Pajimatan Imogiri adalah kompleks makam bagi raja-raja Mataram Islam beserta keturunannya.Makam ini dibangun oleh Raja ketiga Kesultanan Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1632. Di kompleks makam yang luasnya mencapai 10 hektar ini dimakamkan raja-raja yang pernah bertahta di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta beserta keluarganya.

Sebelum pembangunan Makam Raja Imogiri, Kesultanan Mataram sebenarnya telah memiliki makam Kotagege sebagai tempat pemakaman raja dan keluarganya. Lokasi makam raja di Kotagede berada di sebelah selatan Masjid Gedhe Mataram. Di makam Kotagede ini dimakamkan Ki Ageng Pamanahan (pendiri perdikan Mentaok) Sultan Hadiwijaya/Joko Tingkir (Raja Kesultanan Pajang) dan raja-raja Mataram pendahulu Sultan Agung yakni Panembahan Senopati dan Panembahan Hanyakrawati.

Dilansir dari buku Puncak Kekuasaan Mataram karya H.J De Graaf, di masa pemerintahannya, Sultan Agung memerintahkan membuat makam yang letaknya tinggi diatas bukit. Perintah pembangunan makam baru ini setelah Sultan Agung diangkat sebagai susuhunan pada tahun 1624. Sebelum Sultan Agung, dulu hanya para wali yang berhak atas gelar susuhunan dan ini (gelar susuhunan) pun diberikan setelah mereka wafat (anumerta).

Sultan Agung adalah raja Mataram pertama yang bergelar susuhunan. Dua raja Mataram sebelumnya hanya bergelar panembahan, yakni Panembahan Senopati (kakek Sultan Agung) dan Panembahan Hanyakrawati (ayah Sultan Agung).

Nama kecil Sultan Agung adalah Raden Mas Rangsang. Dia naik tahta pada tahun 1613 dengan gelar Panembahan Hanyokrokusumo atau Prabu Pandita Hanyokrokusumo. Pada tahun 1624 setelah berhasil menaklukkan Madura, sang raja mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusumo. Kemudian pada sekitar tahun 1640-an, gelarnya diganti menjadi Sultan Agung Senapati ing Alaga Abdurrahman.

Hanya satu tahun berkuasa dengan gelar terbarunya, susuhunan pertama Mataram

mendapatkan gelar bernuansa Arab dari pemimpin Ka'bah di Makkah, yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram. Dari berbagai gelar inilah tokoh yang satu ini sering disebut dalam catatan sejarah dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Susuhunan" juga dikata "Sunan". Gelar "Sunan" juga dipakai pemimpin agama Islam dan raja Islam (di Giri Kedaton), dalam hal ini setara dengan sebutan "Sultan". Setelah Perjanjian Giyanti yang memecah Mataram menjadi dua kerajaan, Susuhunan merupakan gelar khusus bagi para penguasa Surakarta, sedangkan para Raja dari Yogyakarta , yang juga keturunan dari Mataram memiliki gelar Sultan.

Susuhunan atau Sunan adalah gelar yang merujuk pada penguasa monarki. Meskipun digunakan kaum bangsawan, penggunaan gelar juga ditujukan kepada orang yang dihormati. Gelar ini berasal dari bahasa Jawa Kuno susuhunan yang berakar dari kata suhun. Istilah "susuhunan" dapat diartikan sebagai "junjungan". Sedangkan Panembahan, adalah orang yang dijunjung atau levelnya berada di bawah gelar sultan atau raja besar.

Sebagai susuhunan, Sultan Agung ingin jika dirinya wafat dimakamkan diatas bukit, sama seperti wali-wali Allah yang memiliki pengaruh spiritual. Sejak zaman Hindu Jawa, kebiasaan mengebumikan jenazah di atas bukit telah dilakukan untuk melestarikan pengaruh spiritual. Sultan Agung ingin, dirinya dan keturunannya kelak dimakamkan diatas bukit yang tinggi.

Menurut Babad Alit (Prawirawinarsa dan Djajengpranata 1921 : 20 – 22), Sultan Agung menyerahkan pembangunan makam baru diatas bukit itu kepada pamannya, Panembahan Juminah atau Panembahan Blitar. Panembahan Juminah adalah putra ke-18 Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah, permaisuri yang berasal dari Madiun.

Makam raja di bukit yang tinggi mulai dibangun pada 1629-1630 dengan dipimpin Panembahan Juminah yang saat itu sudah berusia lanjut. Sebagai susuhunan pertama Mataram, Sultan Agung ingin agar makam yang besar ini nantinya bisa menjadi bangunan mercusuar Dinasti Mataram Islam, sekaligus bangunan untuk memulihkan kewibawaannya yang hilang akibat kegagalan serangan Mataram ke Batavia.

Baca Juga : LSN Apresiasi Kapolri Salurkan Hewan Kurban ke Pondok Pesantren

Kabar menyedihkan datang saat tengah berlangsung pembangunan makam tinggi di atas bukit, Panembahan Juminah meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan, atas perintah Sultan Agung, jasad bangsawan keturunan Pangeran Timur dari Madiun itu kemudian dimakamkan di makam yang tengah dibangun diatas bukit tersebut. Di kemudian hari makam tersebut dikenal dengan nama Makam Giriloyo.

Wafatnya Panembahan Juminah mengakibatkan perubahan penting dalam rencana Sultan Agung. Pertama, ia kecewa karena bukan dirinya yang pertama kali dimakamkan di tempat yang terhormat ini. Sultan juga menganggap makam yang tengah dibangun itu terlampau kecil bagi dia dan keturunannya. Beragam alasan itu kemudian mendorong Sultan Agung untuk membangun makam baru lagi yang letaknya berdekatan dengan makam Giriloyo, yaitu Imogiri. Di makam Imogiri ini, Sultan Agung menjadi orang pertama yang dimakamkan.

Pembangunan makam baru di Imogiri itu dilakukan dengan penuh perhatian. Untuk dinding makam, digunakan kayu wungle dari Palembang. Kualitasnya benar-benar sempurna, menurut keterangan hingga tahun 1917 rumah makam Sultan Agung di Imogiri masih sangat baik keadaanya.

Makam Sultan Agung menjadi makam pertama sekaligus makam induk yang disebut Kasultanagungan. Setelah itu barulah kompleks makam ini digunakan sebagai makam untuk raja-raja Mataram setelahnya. Setelah Perjanjian Giyanti 1755, kompleks makam di Imogiri dibagi menjadi dua yaitu bagian barat untuk makam raja-raja Kasunanan Surakarta dan bagian timur Kasultanan Yogyakarta. Adapun untuk Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman, meskipun masih bagian dari Dinasti Mataram Islam, memiliki pemakaman sendiri bagi para pemimpin dan keturunannya dan terpisah dari Pajimatan Imogiri.

Nama Pajimatan Imogiri yang disematkan pada Makam Raja-Raja Imogiri berasal dari gabungan dua suku kata ‘pajimatan’ dan ‘imogiri’. Pajimatan berasal dari kata ‘jimat’ yang mendapat awalan pa- dan akhiran –an, untuk menunjukkan tempat, sehingga bermakna sebagai tempat untuk jimat atau tempat pusaka.

Sedangkan Imogiri atau Imagiri berasal dari kata ‘ima’ atau ‘hima’ yang berarti berawan atau awan yang meliputi gunung, dan giri yang berarti gunung. Dengan begitu nama Pajimatan Imogiri memiliki makna sebagai gunung berawan/gunung tinggi yang merupakan tempat bersemayamnya jimat/pusaka bagi Kesultanan Mataram, kerajaan yang menguasai pulau Jawa.

Sumber lain menyebutkan, Sultan Agung sebenarnya ingin jasadnya dimakamkan di tanah suci Makkah yang tanahnya berbau harum. Namun keinginan itu tidak jadi diwujudkan setelah Sultan Agung mendapat nasehat dari sahabatnya Imam Supingi (Imam Syafi’i), Imam Masjidil Haram Makkah. Ulama itu mengatakan, kika dimakamkan di Makkah, keturunannya dan rakyat Mataram akan kesulitan menziarahi makam Sultan Agung. 

Sebagai raja besar dan berkharisma, Sultan Agung dikenal memiliki kesaktian dan bisa ngrogoh sukmo. Dikisahkan pada setiap hari Jumat, Sultan Agung selalu ngrogoh sumo dengan cara memecah diri menjadi dua. Yang satu tetap menemani rakyatnya salat Jumat di Masjid Agung Kraton Plered, sedangkan yang satunya selalu terbang ke Makkah untuk mengikuti salat Jumat di sana. Saat Salat Jumat di Makkah itulah Sultan Agung bertemu dengan Imam Supingi, Imam Masjidil Haram yang kemudian menjadi sahabatnya.

Sebagai gantinya, ulama tersebut menyarankan Sultan Agung untuk membawa segenggam tanah yang harum dari Mekah itu untuk dibawa ke Mataram. Setibanya di bumi Mataram, tanah berbau wangi itu kemudian di daerah Giriloyo, tempat yang justru kemudian ditempati pertama kali oleh jasad Panembahan Juminah, paman Sultan Agung.

Setelah mengeluarkan kebijakan pembangunan makam baru, Sultan Agung kemudian mengambil sisa tanah yang berbau harum dan melemparnya ke selatan dan jatuh di Bukit Merak. Di tempat inilah kompleks makam Imogiri dibangun dan digunakan untuk makam dirinya, raja-raja penerus dan keturunannya hingga saat ini.


Topik

Serba Serbi Mataram Yogyakarta makam imogiri



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya