Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Bujuk Rayu Panembahan Senopati Taklukkan Retno Dumilah, Purabaya Berganti Nama Jadi Madiun

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

07 - Feb - 2023, 20:48

Placeholder
Masjid Kuno Kuncen, salah satu jejak kebesaran Kadipaten Purabaya. (Foto: Aunur Rofiq/ JATIMTIMES)

JATIMTIMES - Namanya dikenal sebagai bupati perempuan pertama di tanah Jawa. Retno Dumilah, juga dikenal sebagai panglima tempur perempuan yang sulit ditaklukkan. Sayangnya, kekuasaanya sebagai Bupati Purabaya takluk atas nama cinta di hadapan Panembahan Senopati.

Ya, keberhasilan invasi Kasultanan Mataram menaklukkan Kadipaten Purabaya menorehkan sejarah baru bagi Kadipaten Purabaya. Nama Purabaya kemudian berubah menjadi Bediun. Nama Bediun ini di kemudian hari berubah lagi menjadi Madiun. Madiun sejak dulu memang daerah dengan pengaruh penting di tanah Jawa dengan bupati pertamanya Pangeran Timur.

Baca Juga : Umrah Bersama Anak Yatim, Rumah Sedekah NU dan Mitra Ajarkan Pentingnya Memohon kepada Allah 

Di tulisan kali ini, JATIMTIMES akan mengajak pembaca untuk kembali menelisik sejarah Madiun. Ulasan kita kali ini akan fokus membahas kiprah dan sekilas profil dari Retno Dumilah, bupati perempuan pertama di Jawa. Catatan sejarah menyebutkan, Retno Dumilah adalah Bupati Madiun kedua. Dia mewarisi tahta dari ayahnya, Pangeran Timur.

Dari garis silsilah, Pangeran Timur adalah putra Sultan Trenggono, adik ipar Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Pangeran Timur diangkat sebagai anak oleh Raden Ayu Retno Lembah. Raden Ayu Lembah merupakan putri dari penguasa Kadipaten Ngurawan yang menikah dengan Surya Pati Unus, putra dari Sultan Demak Raden Fatah.

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai Retno Dumilah, kita lebih dulu membahas mengenai Pangeran Timur. Pada 18 Juli 1568, Pangeran Timur diangkat sebagai Bupati Purabaya (nama baru Kadipaten Ngurawan) oleh Sunan Bonang yang mewakili para wali. Pangeran Timur jumeneng dengan gelar Panembahan Ronggo Jumeno, memerintah Kabupaten Madiun selama 18 tahun, sejak 1568 hingga 1586. Saat itu kekuasaan Demak telah diambil alih oleh Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir.

Diangkatnya Panembahan Ronggo Jumeno sebagai pemimpin sekaligus mengakhiri pemerintahaan Pengawasan Kesultanan Demak di bawah Kyai Rekso Gati. Panembahan Ronggo Jumeno dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana dan dicintai oleh rakyat Madiun hingga hari ini. Beberapa wilayah kekuasaan dari Panembahan Ronggo Jumeno meliputi Surabaya, Pasuruan, Ngawi, Tuban, Nganjuk, Brebek, dan Ponorogo.

Masa peralihan kekuasaan Jawa dari Pajang ke Mataram menjadi era baru bagi Kadipaten Purabaya. Mataram berhasil menguasai Kerajaan Pasai sehingga posisi kadipaten-kadipaten harus tunduk di bawah kekuasaannya. Namun Panembahan Ronggo Jumeno menolak untuk tunduk terhadap Mataram yang saat itu dipimpin oleh Panembahan Senopati.

Penolakan tersebut membuat Mataram menyerang Purabaya. Tercatat Mataram dua kali melakukan serangan pada 1568 dan 1587. Namun, kedua serangan tersebut berhasil dikalahkan karena Purabaya mendapat bantuan dari 15 bupati Mancanegara Timur. Purabaya kala itu merupakan kadipaten yang membawahi 15 kabupaten.

Setelah dua kali mengalami kekalahan, Mataram menyusun strategi baru untuk menyerang Purabaya dengan berpura-pura menyerah. Mengetahui hal tersebut, pasukan sekutu dari Mancanegara Timur ditarik mundur dan kembali di wilayahnya masing-masing.

Saat Kadipaten Purabaya lengah, pasukan Mataram menyerang kembali pada tahun 1590 M. Saat itu pusat pemerintahan telah berpindah ke Wonosari dan kekuasaan Kadipaten Purabaya sudah diserahkan kepada anak Panembahan Ronggo Jumeno yakni Raden Ayu Retno Dumilah.

Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kecil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Panembahan Senopati dengan Raden Ayu Retno Dumilah. Perang dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun). Retno Dumilah bukan perempuan biasa. Dia adalah senopati perang tangguh dengan senjata andalannya keris Kiai Gumarang.

Perang antara Mataram dengan Purabaya yang tak kunjung usai membuat rakyat menderita. Retno Dumilah pun merasa prihatin. Banyak prajurit yang mati. Juga banyak janda menjadi kedinginan di malam hari.

Baca Juga : Operasi Keselamatan 2023 Polres Kediri Kedepankan Aspek Preventif, Edukatif dan Persuasif

Perang tanding satu lawan satu melawan Panembahan Senopati menjadi pilihan terakhir bagi Retno Dumilah. Perang ini adalah tawaran dari Panembahan Senopati. Kesepakatanya, siapa yang kalah harus menerima kekalahan dan tunduk kepada pemenangnya.

Perang tanding adu kedigdayaan dan kasudibyan dimulai. Retno Dumilah membawa pusaka keris andalannya Kiai Gumarang. Retno Dumilah, keponakan Ratu Kalinyamat ini sulit dikalahkan oleh Panembahan Senopati. Panembahan Senopati, dengan bisikan saran dari ahli strategi Ki Juru Martani (Patih pertama Kasultanan Mataram) punya pikiran lain.

Dengan siasat dan strategi dari Ki Juru Martani, Panembahan Senopati berhasil mengalahkan Retno Dumilah dengan cara halus tanpa melukai. Retno Dumilah digandrungi, dirayu. Retno Dumilah pun klepek-klepek dan sepakat untuk berdamai dengan Mataram. Dirinya memilih untuk mengalah daripada rakyat dan prajuritnya habis dan rakyat menderita.

Setelah kekalahan ini, Retno Dumilah kemudian dibawa ke istana Mataram di Kotagede sebagai simbol rampasan perang. Boyongan ini juga menandai berakhirnya era Kadipaten Purabaya. Sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purabaya tersebut maka pada hari Jumat Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama Purabaya diganti menjadi Madiun.

Di Mataram, Retno Dumilah mendapat kedudukan tinggi sebagai permaisuri Ratu Kulon. Namun sayangnya, sebagai permaisuri Ratu Kulon tak lantas membuat keturunan Retno Dumilah bisa menjadi penerus tahta penguasa Mataram. Putera Retno Dumilah, Pangeran Pringgalaya gagal naik tahta menjadi raja.

Menjelang wafat, Panembahan Senopati memutuskan mengangkat Raden Mas (RM) Jolang sebagai pewaris takhta Kasultanan Mataram. Alasanya pun klasik, Senopati mengaku mendapatkan wangsit. Jolang lah nantinya yang akan menjadi raja yang membawa kebesaran Mataram. Selain itu, ibunda Jolang yang merupakan Ratu Wetan, Raden Ayu (RAy) Waskitajawi atau Ratu Mas merupakan keturunan Ki Penjawi dari Pati. Trah Penjawi dinilai lebih unggul dibandingkan Trah Madiun, asal usul Retno Dumilah. Jolang kemudian naik tahta sebagai raja kedua Kasultanan Mataram dengan gelar Panembahan Hanyakrawati.

Dalam budaya kraton Mataram, secara adat maupun protokoler, Ratu Kulon adalah istri utama. Kedudukannya mengalahkan Ratu Wetan. Demikian pula anak laki-laki dari Ratu Kulon. Lebih mendapatkan prioritas dibandingkan anak dari Ratu Wetan. Itu teori yang berlaku di atas kertas. Namun realita yang terjadi justru berkebalikan. 

Di Mataram, Mantan bupati perempuan Madiun Retno Dumilah ditempatkan di wilayah Pleret Bantul hingga meninggal dunia. Setelah wafat, jasadnya disemayamkan  di Makam Raja-raja Mataram di Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta. 


Topik

Peristiwa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni