JATIMTIMES - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikan 13 nama sebagai saksi kepada penyidik untuk dimintai keterangan. 13 nama itu adalah bagian dari 20 pemohon perlindungan pada Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu.
Ke 13 orang tersebut, LPSK menilai mempunyai keterangan penting untuk mengungkap perkara. Karena mereka ada orang yang mengalami langsung Tragedi Kanjurahan tersebut, dan diantaranya terdapat relawan medis.
Baca Juga : Mahasiswanya Juara 1 Lomba Debat Konstitusi Nasional, Nama UIN Malang Kian Harum di Kancah Nasional
Saat ini LPSK telah memberikan perlindungan kepada 18 orang yang merupakan suporter, relawan medis hingga keluarga korban. Program perlindungan yang diberikan pemenuhan hak procedural dan perlindungan fisik.
“Program perlindungan ini dimaksudkan agar saksi dan korban merasa aman dalam memberikan keterangan pada setiap proses hukumnya,” Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua LPSK.
Dalam 1 bulan terakhir terdapat dinamika dalam proses hukum dari pemanggilan dan pemeriksaan serta peminjaman telpon selular yang tidak sesuai prosedur (KB). Hingga kedatangan sebelum aparat ke rumah orang tua korban (DA) yang awalnya telah menyetujui dilakukan ekshumasi yang berujung surat penolakan dilakukan ekshumasi.
“Kemudian setelah didampingi LPSK, DA menyetujui kembali dilakukan ekshumasi yang pelaksanaannya direncanakan pada 5 November,” ujar Edwin.
LPSK sendiri berharap hal-hal tersebut tidak terjadi kembali. Karena akan berdampak buruk bagi kepercayaan publik pada proses hukum yang adil.
LPSK juga berharap penyidik tidak hanya terpaku pada Laporan Polisi (LP) yang ada, yakni LP terkait pasal 359 dan 360 tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka, dan LP terkait pasal 170 dan Pasal 212 terkait penyerangan terhadap orang (aparat) dan pengerusakan barang.
Baca Juga : Beri Pemahaman Dampak Pergaulan Bebas, Dinkes Kota Kediri Undang 1.100 Remaja
Perbuatan penembakan gas air mata menurut Edwin sebaiknya juga dipertimbangkan sebagai sangkaan perbuatan penganiyaan sebagai mana diatur di pasal 351 dan pasal 354 KUHP. Penggunaan GAM itu telah mengakibatkan gangguan kesehatan baik berupa sesak napas, iritasi kulit, mata berdarah dan dapat berakhir kematian bagi yang memiliki komorbit.
Perbuatan penembakan itu harus dikaji sebagai bentuk kesengajaan bukan kelalaian. Termasuk pasal 170 terdapat perbuatan yang dilakukan oknum aparat ketika peristiwa yang juga tak dapat diabaikan, sehingga jatuh korban anak pada peristiwa tersebut.
“Adanya korban anak bisa diperluas penyidik dengan pengenaan Pasal 76C juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak, yakni kekerasan terhadap anak. Termasuk perbuatan oknum aparat yang menghalang-halangi korban mendapatkan bantuan medis dapat dikenakan pidana sebagai mana diatur pasal 421 KUHP,” beber Edwin.
Untuk saat ini, Edwin menyarankan agar sebaiknya kepolisian membuka diri untuk diterapkan pasal baru maupun bila adanya laporan baru yang disampaikan oleh saksi/korban atas peristiwa tersebut. “LPSK sepenuhnya akan mendukung upaya pengungkapan tragedi dengan memberikan perlindungan kepada para saksi/korbannya,” tutup Edwin.