JATIMTIMES - Pemerintah telah memutuskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sejak 3 September 2022 yang lalu. Berbagai protes pun muncul, mulai dari buruh, mahasiswa hingga masyarakat yang lainnya. Mereka sama-sama sepakat menolak kenaikan harga BBM.
Seperti baru-baru ini muncul gerakan mahasiswa dari beberapa organisasi, baik HMI, IMM, PMII hingga organisasi kedaerahan juga muncul menyuarakan penolakan terhadap kenaikan harga BBM.
Menanggapi dari beberapa gerakan yang telah dilakukan oleh masyarakat hingga mahasiswa tersebut, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdus Salam mengatakan, efektivitas tekanan publik termasuk gerakan mahasiswa akan sangat bergantung pada momentumnya.
Baca Juga : Maksimalkan Normalisasi Saluran, DPUPRPKP Bakal Tambah Ekskavator
Menurut dia, momentum itu bisa dilihat dari situasi makro, meso, dan mikro politik yang juga saling berkesinambungan. Sebab, hal itu menjadi faktor yang saling mempengaruhi dan sejauh ini masih positif dan hal ini tentu bisa menjadi energi penguatan terhadap pemerintah.
Kata Surokim, sejauh ini gerakan mahasiswa masih efektif, sepanjang gerakan itu dimaksudkan sebagai gerakan moral dan empati publik. Kalau jauh dari itu, maka gerakan mahasiswa kata dia tidak akan efektif.
"Paling tidak sebagai upaya memberi catatan, mengingatkan dan memberi tekanan kepada pemerintah agar terus mawas diri," tutur Surokim, Selasa (6/9/2022).
Namun, dalam situasi saat ini, jika gerakannya lebih dimaknai terhadap kehendak eksistensi rezim, maka itu masih sulit. "Jika tekanan itu dimaksudkan kepada pembatalan, menurut saya sulit dan tidak akan efektif. Tetapi kalau diarahkan pada upaya meminta penyesuaian, menurut saya masih mungkin dan masuk akal," lanjutnya.
Saat ini, BBM sudah resmi dinaikkan dan itu fakta yang harus diterima. Bahkan, saat ini pemerintah juga harus siap dan mengukur berbagai dampak yang akan muncul, termasuk dampak sosial dari kenaikan harga tersebut.
Pemerintah maupun seluruh elemen juga harus menyadari, bahwa masyarakat baru saja bangkit dari pemulihan masa krisis dan pandemi. Sementara saat ini masyarakat harus menghadapi beban kenaikan harga BBM.
"Saya fikir modal sosial untuk menguatkan situasi seperti ini, ya modal sosial trust dalam artian perintah harus menjaga hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan. Nah, hal itu harus dijaga, dipelihara dan dikuatkan oleh pemerintah," terangnya.
Baca Juga : Polres Gresik Amankan 48 Budak Narkoba, Sita 66,62 Gram Sabu dan 1.363 Pil Koplo
Selain itu, dia juga masih berpegang pada keyakinan akan pentingnya pemerintah memiliki roadmap jangka menengah dan panjang terkait resiliensi dan daulat BBM dan migas kita.
Pemerintah juga perlu dan harus serius menjalankan peta jalan kontigensi agar daulat BBM dan migas kita benar-benar memiliki daya risiliensi kuat terhadap berbagai guncangan fluktuasi harga migas dan BBM global serta internasional. Di samping itu, pemerintah juga harus membuat skema bantalan jangka pendek yang efisien.
"Saya pikir pemerintah harus terus memperbaiki komunikasi publik agar bisa membangun kepercayaan dengan masyarakat," ungkapnya.
Saat ini, kuncinya ada pada kejujuran pemerintah itu sendiri. Jika pemerintah sungguh-sungguh dan bisa jujur berkomunikasi dengan publik dan bisa terus empatik kepada masyarakat, maka modal sosial itu masih bisa dikuatkan.
"Kita tentu tidak berharap munculnya ketidakpercayaan masyarakat yang bisa memicu berbagai krisis lanjutan termasuk krisis politik. Pemerintah harus ekstra hati-hati menjaga modal sosial ini dengan sungguh-sungguh menjalankan good governance atau pemerintahan yang baik," tutupnya.