JATIMTIMES - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) RI Edward O.S. Hiariej hadir dalam aksi simbolik Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Brawijaya yang menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), Rabu (6/7/2022).
Aksi simbolik dari Amarah Brawijaya ini diikuti oleh puluhan elemen mahasiswa Universitas Brawijaya (UB). Di mana aksi simbolik dipusatkan di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang dimulai pukul 11.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 12.30 WIB.
Baca Juga : Survei DSI: Elektabilitas Airlangga Teratas Ungguli Jenderal Andika dan Dudung, Dinilai Paling Berintegritas
Dari pantauan JatimTIMES.com di lapangan, hadirnya ketiga pejabat negara ini yakni Presiden RI Jokowi, Ketua DPR RI Puan Maharani dan Wakil Menkumham RI Edward O.S. Hiariej hanya berupa topeng saja yang dikenakan oleh perwakilan tiga massa aksi simbolik dari Amarah Brawijaya.
Koordinator lapangan aksi simbolik RKUHP (Regulasi Kontroversi Ugal-ugalan Hanya Petaka) Amarah Brawijaya Muhammad Nizar Rizaldi mengatakan, alasan dihadirkannya tiga pejabat negara berupa topeng ini tidak bersifat personal.
"Bagi kami kritik terhadap pejabat publik tidak bersifat personal, artinya kami mengkritik berdasarkan tolak ukur yang jelas, yakni kinerja mereka sebagai bagian dari pemerintah dan DPR yang seharusnya mewakili suara kami dalam setiap pembentukan undang-undang," ungkap Nizar kepada JatimTIMES.com.
Dalam aksi simbolik RKUHP yang digelar oleh Amarah Brawijaya dan diikuti oleh puluhan elemen mahasiswa ini banyak banner-banner bertuliskan kalimat protes terhadap pemerintah.
Di antaranya "Tolak RKUHP #SemuaBisaKena", "Reformasi Di Korupsi #SemuaBisaKena", "RKUHP Ngawur", "Tak Ada Hukuman Mati Bagi Para Maling Uang Rakyat di RKUHP", "Hukum Sesuai Selera Penguasa, Rakyat Manut Aja #SemuaBisaKena", "Mosi Tidak Percaya, RKUHP Cacat Formil, Minim Transparansi", "Telang Hilang Draft RKUHP, Dicari!".
Pihaknya pun secara tegas dalam aksinya tersebut menolak Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) yang informasinya akan segera disahkan pada Bulan Juli 2022. Padahal sejak tahun 2019 hingga tahun 2022, masih terus terjadi penolakan dan desakan transparansi dari berbagai elemen masyarakat kepada pemerintah dan DPR RI sebagai perumus RKUHP tersebut.
"Kami menolak, karena bersandar terhadap kajian kami, draft RKUHP 2019 yang rencananya bulan Juli ini akan disahkan tapi belum dilakukan revisi, untuk menanggulangi penolakan kami harusnya pemerintah dan DPR melakukan koreksi lanjut," tegas Nizar.
Menurutnya, terdapat pasal-pasal kontroversial yang harus segera direvisi. Di antaranya, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 598 yang dapat memicu terjadinya kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan azas legalitas; Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 101 yang melanggar ketentuan dari HAM sebagai hak dasar di dalam setiap individu; Pasal 218 yang bertentangan dengan penjaminan kebebasan berpendapat dan cenderung memunculkan pemerintahan otoriter.
Kemudian Pasal 234 yakni pengaturan sanksi yang terlalu tinggi selama lima tahun, sehingga memiliki ketimpangan dengan pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah tiga tahun dan penghinaan terhadap lembaga negara satu tahun enam bulan; Pasal 240 yang bertentangan dengan penjaminan demokrasi di mana masyarakat dapat mengkritik sebuah pemerintahan demi pembangunan berkelanjutan yang lebih baik.
Lalu, Pasal 273 yakni membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan ketiadaan indikator yang jelas; Pasal 280 yang berpotensi dalam kebebasan pers dan poin menyerang integritas hakim bersifat multitafsir.
Baca Juga : Dampak PMK, Penjualan Kambing Meningkat Jelang Iduladha
Selain itu, Pasal 353 yang dalam putusan MK 013-22/PUU/IV/2006 dinyatakan bahwa penghinaan harus ditujukan dalam konteks perlindungan reputasi seseorang, bukan merujuk pada institusinya. Menurutnya, pengaturan ini melanggar ketentuan Komentar Umum ICCPR Nomor 34 Poin 38 bahwa pemerintah seharusnya tidak melarang suatu kritik terhadap institusinya.
Kemudian, Pasal 417 ayat (1) dalam aspek pengaturan kumpul kebo tidak dikaitkan dengan perceraian; Pasal 431 yang bertentangan dengan konstitusi Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945; Pasal 414 dan Pasal 415 pengaturan alat kontrasepsi yang kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Lalu, Pasal 416 terkait hidup Bersama di luar perkawinan atau kohabitasi dapat memperbesar potensi peningkatan penduduk secara ekstrim melalui perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua.
Pasal 467 terkait aborsi di mana korban kehamilan tidak hanya dimungkinkan terjadi akibat perkosaan ataupun kekerasan medis akan tetapi juga dapat berasal dari korban seksual seperti eksploitasi seksual; Pasal 493 terkait pencemaran kepada pihak lainnya yang lebih tepat diatur dalam aspek perdata.
Maka dari itu, melihat banyaknya hajat masyarakat luas yang menurutnya telah dikebiri oleh Pemerintah dan DPR RI baik pada aspek formil maupun materiil, Amarah Brawijaya membawa tiga tuntutan, yakni:
1. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk melakukan transparansi terhadap Draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Sesuai Dengan Ketentuan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
2. Mendesak Pemerintah bersama DPR Untuk Mendengarkan, Mempertimbangkan, dan Memberikan Respon Terhadap Aspirasi Yang Dinyatakan Oleh Masyarakat.
3. Mengajak kepada seluruh elemen masyarakat Pro-HAM dan demokrasi untuk bersolidaritas dalam mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan transparansi terhadap draf RKUHP.