JATIMTIMES - Belanja online adalah salah satu cara belanja yang simpel dan tidak membutuhkan tenaga untuk harus datang ke lokasi perbelanjaan. Namun, kini belanja online disebut akan kena biaya bea materai Rp 10 ribu.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan rencananya akan menarik bea meterai Rp 10 ribu untuk pelanggan platform digital, termasuk belanja online, di e-commerce. Namun, penarikan bea materi itu untuk transaksi pembelian di atas Rp 5 juta rupiah.
Baca Juga : Tuai Polemik, Presiden Jokowi Batalkan Kenaikan Tarif Candi Borobudur Rp 750 Ribu
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan aturan tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai.
"Mengenai bea meterai yang akan dikenakan terhadap dokumen pada transaksi e-commerce, secara umum diatur dalam UU Bea Materai," ujar Neilmaldrin Noor.
Menurut Neilmaldrin Noor, segala pertimbangan ini telah dilakukan oleh DJP sebelum menetapkan pengenaan bea meterai Rp 10 ribu untuk dokumen transaksi di e-commerce.
DJP pun terus melakukan diskusi dengan asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) terkait rencana tersebut. Saat ini, pembahasan masih terus bergulir untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan ditambahkan dalam pengenaan bea materai.
Adapun pengenaan bea meterai untuk transaksi digital berlaku untuk dokumen dengan nilai transaksi di atas Rp 5 juta. "Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5.000.000," bunyi pasal 3 ayat 2g UU Bea Meterai.
Dinilai Hambat Pertumbuhan Ekonomi Digital
Menanggapi rencana itu, Ketua Umum Indonesian E-Commerce Association (IdEA) Bima Laga menyampaikan bahwa penerapan materai elektronik pada syarat dan ketentuan atau terms and condition (T&C) ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi digital. Selain itu, bisa mengurangi daya saing Indonesia di kancah global.
"Bayangkan apabila seluruh user, termasuk pembeli dan seller sebelum mendaftar di platform harus bayar Rp 10.000 terlebih dahulu. Padahal mereka belum transaksi. Apalagi UMKM, laku aja belum sudah harus bayar meterai," ujar Bima.
Baca Juga : Indonesia dan Bosnia Perkuat Kerja Sama Perdagangan dan Investasi untuk Mendorong Upaya Peningkatan Ekonomi
Ia lantas menambahkan T&C adalah salah satu bagian layanan yang melekat pada seluruh platform yang berfungsi menjelaskan hak dan tanggung jawab dari seluruh pihak yang mengakses layanan digital. Namun pemerintah justru menganggap T&C adalah dokumen perjanjian dan terutang bea meterai sesuai UU 3/2020.
Hal ini, kata Bima, akan berdampak menciptakan hambatan (barriers) kepada proses digitalisasi yang sedang berjalan. Menurut dia, jika Indonesia akan memberlakukan e-materai, itu bakal menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan pada platform digital dan secara signifikan akan mengurangi daya saing Indonesia di kancah global.
Selain itu, aturan tersebut tak sejalan dengan program pemerintah yang menargetkan sebanyak 30 juta UMKM go digital sampai tahun 2024.
Oleh sebab itu, idEA merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan pengecualian khusus agar T&C tidak menjadi objek e-meterai karena dampaknya yang cukup masif dalam menghambat digitalisasi.
"Apabila di kemudian hari secara perdata diperlukan e-meterai, maka kami merekomendasikan dilakukan terutang di kemudian hari agar proses digitalisasi tidak terhambat," kata Bima.