JATIMTIMES - Pakaian dalam adalah hal paling esensial yang tidak boleh disepelekan. Meski tertutup dan tidak terlihat secara langsung, bukan berarti kalian bisa asal menggunakan pakaian dalam.
Apalagi mengingat organ-organ vital di tubuh kita bersentuhan langsung dengan benda tersebut. Salah 1 faktor penting yang perlu diperhatikan saat memilih pakaian dalam yakni dari bahan atau material yang digunakan.
Baca Juga : Sinopsis Ikatan Cinta RCTI 31 Oktober 2021, Teror Berlanjut, Mama Rosa Disekap
Jangan hanya karena modelnya menarik, lantas kalian mengabaikan hal-hal penting lainnya. Tapi bagaimana jadinya jika di zaman dulu terdapat pakaian dalam 'nyeleneh' yang dipakai oleh para perempuan?
Sebelum efek samping radioaktif benar-benar dimengerti, orang-orang percaya bahwa itu bisa menjadi obat untuk segala macam penyakit. Diketahui, radioaktivitas adalah kemampuan inti atom yang tak-stabil untuk memancarkan radiasi menjadi inti yang stabil.
Materi yang mengandung inti tak stabil memungkinkan untuk memancarkan radiasi, disebut juga zat radioaktif. Namun, pada tahun 1920-an hingga 1950-an, zat itu justru ditemukan dalam produk sehari-hari seperti kosmetik, makanan, dan pakaian dalam.
Kala itu banyak yang percaya bahwa 'masalah ranjang' bisa diselesaikan dengan menggunakan pakaian dalam yang dikenal sebagai Radiendocrinator' atau 'radium underwear'. Di masa sekarang mungkin penemuan itu dianggap paling 'bodoh' karena sangat membahayakan.
Namun kala itu zat radioaktif baru ditemukan dan masih alami. Selain pakaian dalam radioaktif, terdapat pula pakaian dalam yakni ikat pinggang keperawanan.
Diketahui, keperawanan sangatlah penting bagi seorang wanita yang belum menikah. Keperawanan atau perawan adalah seseorang yang belum pernah melakukan persetubuhan.
Beberapa budaya maupun tradisi agama menempatkan keperawanan sebagai suatu kehormatan, yang umumnya disandang oleh perempuan yang belum atau tidak menikah.
Ikat pinggang keperawanan populer digunakan pada Abad ke-16 sebagai 'alat' pencegah pemerkosaan, perselingkuhan, dan masturbasi. Awalnya pakaian dalam ini dibuat untuk para istri yang tengah ditinggalkan oleh suami mereka pergi berperang.
Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perselingkuhan dan masturbasi (kala itu masturbasi dianggap tidak sehat dan perbuatan dosa. Selain itu ikat pinggang juga digunakan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual, terutama pemerkosaan.
Dikutip dari Majalah Arkeologi Indonesia yang ditulis Djulianti Sasonto, keberadaan sabuk kesucian ini ada sejak zaman Kerajaan Majapahit abad ke 14. Ketika itu dikenal Kitab Agama untuk melindungi para wanita. Di antara berbagai bab yang disusun, bagian yang paling banyak dibicarakan adalah tentang perbuatan mesum atau paradara (arti sebenarnya, “istri orang lain”).
Kata paradara di kala itu merujuk pada perbuatan yang kurang senonoh terhadap wanita/istri orang lain. Celana bergembok atau berkunci pada awalnya merupakan benda upacara yang dipakai oleh anak wanita kecil.
Di Aceh, benda semacam itu dinamakan cupeng. Fungsinya sebagai penutup kelamin anak wanita. Bentuknya seperti hati dan pemasangannya diikat dengan benang pada perut si anak.
Pernah ditemukan artefak cupeng berbahan emas 22 karat, berukuran tinggi 6,5 cm, dan lebar 5,8 cm. Kini cupeng tersebut menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta.
Baca Juga : Viral, Suku Dayak Marah karena Lahan Adat Diserobot
Melihat bahannya, kemungkinan besar cupeng itu digunakan oleh orang yang cukup terpandang karena penuh dengan ukiran. Pinggirannya berhiaskan motif tapak jalak, bagian tengah bermotif bunga teratai dikelilingi deretan bunga bertajuk empat helai dalam bentuk belah ketupat.
Bagian tengah bunga bermatakan jakut merah. Menurut tradisi lama, cupeng harus dipakai oleh anak wanita berusia 2-5 tahun.
Atau digunakan ketika anak mulai berjalan sampai mulai bisa mengenakan sarung sendiri. Mereka percaya, cupeng merupakan penangkal roh jahat.
Pada saat dipakai pertama kali, benang yang dikalungkan terlebih dahulu diberikan mantera atau jampi-jampi oleh seorang dukun. Cupeng juga dikenal di Semenanjung Malaysia. Di sana disebut caping. Diduga, caping diperkenalkan ke Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang India pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, dari abad ke-7 hingga abad ke-12.
Di Malaysia, caping sangat populer di daerah Utara, Selatan, dan pantai Timur Malaysia. Di Indonesia, cupeng banyak dipakai oleh penduduk Melayu sekitar pantai Timur Sumatera, Dayak, Bugis, Makassar, dan Aceh.
Hampir serupa dengan cupeng adalah badong. Badong merupakan perhiasan untuk wanita bangsawan atau tokoh yang dihormati. Penggunaannya diletakkan di luar kain, tepat di depan alat kelamin wanita. Badong adalah simbol bagi wanita yang telah menikah dan dipakai pada saat suami mereka sedang berperang atau sedang berada di luar rumah.
Badong juga digunakan oleh para pertapa dan pendeta wanita, untuk melawan godaan agar selamanya tidak melakukan hubungan intim dengan lawan jenis. Badong berbahan emas pernah ditemukan di daerah Madiun, kemungkinan berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-14 atau ke-15.
Artefaknya juga bisa dilihat di Museum Nasional, Jakarta. Yang unik, permukaan badong dihiasi relief cerita Sri Tanjung, seorang wanita suci yang dituduh selingkuh oleh suaminya, Sidapaksa, dan kemudian dibunuh. Namun Dewi Durga datang menolong Sri Tanjung dengan memberikan seekor gajamina (ikan gajah) untuk membantu membawanya ke surga, sebagai imbalan atas kesucian hatinya.
Satu benda lagi yang mirip adalah Jempang. Artefak ini ditemukan di Gowa, Sulawesi Selatan. Jempang juga merupakan penutup kelamin wanita, merupakan pakaian sehari-hari untuk gadis-gadis muda dari kalangan bangsawan.