MALANGTIMES - Sejarah perkembangan musik di Kota Malang dimulai sekitar medio tahun 1960-an. Pada era ini, deretan band yang sebagian memilih jalur genre pop untuk berkarya dan menjadi primadona di masanya dapat dikategorikan sebagai band pengiring.
Sederet grup band yang terekam hidup dan sering tampil di beberapa acara pada awal medio tahun 1960-an diantaranya Eka Dasa Taruna (1960), Avia Nada (1962), Jaguar (1965), Tornado (1967), Elviera (1967), Young Brahmaz (1968), dan Bentoel (1969).
Baca Juga : Gemuruh Musik Kota Malang: Menembus Arus Zaman
Deretan grup band tersebut dikatakan sebagai band pengiring. Pasalnya, pada era 1960-an kebanyakan grup band tampil ketika ada acara-acara resmi mengiringi artis luar kota ataupun acara pernikahan.
Lagu-lagu yang dibawakan pun kebanyakan masih lagu cover dari band-band ataupun solois dari luar negeri. Sebut saja Nate King Cole, Elvis Presley, The Beatles dan lain-lain.
Selain itu, beberapa artis dan musisi kerap kali diiringi oleh sederet band yang lahir di era awal tahun 1960-an. Sebut saja grup band Giant Step yang pernah didampingi oleh Avia Nada. Lalu musisi Bob Tutupoly yang pernah diiringi oleh Jaguar. Hingga Emilia Contessa dan Anna Matovani yang pernah diiringi oleh Bentoel.
Salah satu narasumber untuk mengulas perkembangan musik di Kota Malang di era 1960-an kali ini yakni Hengki Herwanto. Pria yang merupakan Ketua Museum Musik Indonesia ini pun menjelaskan sekilas sejarah perkembangan musik di Kota Malang pada medio tahun 1960-an.
"Dari info yang kita kumpulkan tokoh musik yang tampil 1960-an di Malang ada Abadi Soesman pemain keyboard GodBless. Grupnya Irama Abadi ada juga Band Bocah. Kemudian ada Eka Dasa Taruna yang awal berdiri. Itu yang menjadi pioner," ujarnya kepada MalangTIMES.com.
Penyerapan musik di telinga arek-arek Malang pun terbilang cukup cepat. Dengan bukti fisik grup-grup band yang pernah berjaya di masanya, Kota Malang juga dapat disebut sebagai kota yang adaptif dengan musik.
Hal itu tidak terlepas dari putaran lagu-lagu pop rock, rock and roll di piringan hitam atau vinyl hanya di putar pada stasiun radio di Kota Malang. Diantaranya di Radio PK-17 (Jalan Pekalongan Nomor 17) dan Radio TT-77 yang sangat bersejarah menemani hari-hari arek-arek Malang di medio 1960-an untuk mendengarkan musik dari grup band atau solois dalam maupun luar negeri.
"Ya itu tadi, pengaruh radio yang sering memutar lagu-lagu rock and roll yang menginspirasi seniman-seniman Kota Malang," tutur pria yang dulunya merupakan jurnalis majalah musik Aktuil.
Majalah Musik
Deretan majalah musik juga memiliki pengaruh dalam memberikan referensi bermusik arek-arek Malang. Meski awalnya beredar di kota-kota besar, arek-arek Malang pun selalu punya cara untuk mendapatkan majalah-majalah musik tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun dari dennysakrie63.wordpress.com, majalah musik Diskorina yang terbit pertama kali di Yogyakarta pada tahun 1958 dapat disebut majalah musik pertama di Indonesia yang terbitnya tidak stabil, namun dapat bertahan hingga akhir tahun 1960-an.
Pada tahun 1967 terdapat sejumlah koresponden yang juga berada diluar negeri. Seperti Bambang Nirbojo S. (India), PT Tjhai (Australia), Elizabeth Schornac (USA), R. Huitink dan Baby V. Hill (Holland). Untuk yang didalam negeri ada Liz Musirlan, Soerono Sunartio, Ernie dan Denny, Johny Tan, Henry Tjoa, Magda Tjio dan Juultje Tan.
Salah satu nama yakni Denny yang memiliki nama lengkap Denny Sabri kemudian pada tahun 1967 mendirikan majalah musik di Bandung yang bernama Aktuil.
Baca Juga : Eks Gitaris Gigi Meninggal karena Covid-19, Slank Ikut Berduka
"Majalah aktuil yang terbit di Bandung mulai tahun 1967 sampai 1978 dan distribusinya nasional. Dia mengulas band, pentas musik bahkan punya wartawan di luar negeri. Sehingga konser di luar negeri ditulis di majalah Aktuil dan memengaruhi. Mulai Led Zeppelin, Deep Purple dan lain-lain," ujarnya.
Selain itu juga terdapat majalah musik lokal lain yang terbit. Yakni seperti Junior (Jakarta), Top (Jakarta), Favorita (Surabaya), Varia Nada (Jakarta dan Malang) dan Paradiso (Surabaya).
Tempat Nongkrong dan Venue Musisi 1960
Sementara itu, menurut Arief Wibisono penulis buku "Empat Dekade Sejarah Musik Kota Malang" bahwa untuk permainan musik pada grup band di medio tahun 1960-an memang fokus pada konsep band pengiring.
"Kalau permainan musik sama saja. Cuma tahun 1960-an itu mereka fokusnya di band pengiring, pesta pernikahan dan pesta rumahan," ungkap pria yang akrab disapa Bison.
Pada medio tahun 1960-an tersebut memang kebanyakan grup band yang bermunculan di Kota Malang merupakan jebolan dari SMA di kawasan Tugu Kota Malang. Hal itu pula yang membuat wilayang tongkrongan arek-arek Malang pada tahun tersebut juga masih di kawasan Tugu Kota Malang.
"Tongkrongannya beda waktu itu. Mereka sering nongkrong di Hotel Splindid. Latihannya disitu. Bukan studio musik tapi menyediakan alat-alat untuk menjadi band pengiring. Terus mereka juga anaknya orang kaya," terangnya.
Lalu terdapat beberapa lokasi di Kota Malang yang kerap kali dijadikan arena dansa bagi arek-arek Malang. Beberapa dokumen yang terkumpul pada arsip milik Bison memperlihatkan enam tempat utama yang sejak dulu hingga pada medio tahun 1990-an dijadikan tempat tampilnya para grup band yang bertandang ke Malang.
Diantaranya ada Gedung Flora atau Gedung Bioskop Flora yang terletak di perpotongan sudut Jalan KH. Agus Salim dan Jalan Zainul Arifin. Lalu Gedung Cendrawasih atau yang sekarang bernama Gedung Kesenian Gajayana. Kemudian ada Gedung Tenun di kawasan Jalan Janti.
Lalu ada GOR Pulosari yang beberapa waktu lalu sempat berubah menjadi toko ritel moderen. Kemudian juga terdapat Taman Indrokilo yang saat ini telah berubah menjadi kawasan perumahan di belakang Museum Brawijaya. Lalu yang terakhir di tribun VIP Stadion Gajayana Malang.
Lantas seperti apakah musik Kota Malang setelah era 1960-an? Pantengin terus ulasan-ulasan mengenai potret musik dan gedung pertunjukan musik di Kota Malang dari setiap dekade hanya di MalangTIMES.com.