Hukum Konsumsi Makanan Haram dalam Islam: Aturan, Batasan, dan Situasi Darurat
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Yunan Helmy
22 - Jan - 2025, 09:16
JATIMTIMES - Dalam ajaran Islam, menghindari makanan haram merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh seluruh umat Muslim. Namun, ada kelonggaran yang diberikan dalam kondisi darurat, seperti saat seseorang menghadapi krisis makanan yang mengancam nyawa.
Dalam situasi ini, larangan mengonsumsi makanan haram dapat berubah menjadi boleh, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Al-Quran dan panduan para ulama.
Baca Juga : Lampu Teplok Picu Kebakaran di Sidodadi Blitar, Rumah Ludes Dilalap Api
Larangan utama terhadap makanan haram seperti bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 173. Namun, ayat ini juga menegaskan pengecualian untuk kondisi darurat:
"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini menjadi dasar hukum bagi umat Islam untuk tetap menjaga kelangsungan hidup di tengah keterbatasan, selama tidak disertai niat melampaui batas atau mengambil keuntungan dari kondisi darurat tersebut.
Pendapat Ulama tentang Kadar yang Diperbolehkan
Para ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait kadar konsumsi makanan haram dalam situasi darurat. Terdapat dua pendapat di kalangan ulama fikih soal kadar makanan haram yang diperbolehkan. Dasar hukum ini merujuk pada kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dua pendapat. Pendapat pertama dari mayoritas ilama. Menurut jumhur ulama, konsumsi makanan haram dalam kondisi darurat hanya diperbolehkan sebatas untuk menghindari kematian. Ukurannya adalah cukup untuk membuat seseorang mampu berdiri salat atau menjalankan puasa setelahnya.
Dasar hukum ini merujuk pada kaidah ushul fiqh:
"Apa yang diperbolehkan karena kondisi darurat, maka kebolehannya hanyalah sekadar untuk lepas dari kedaruratan itu."
Dengan demikian, setelah mencapai batas minimal yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, seseorang tidak diperbolehkan melanjutkan konsumsi makanan haram tersebut.
Baca Juga : Baca Selengkapnya