Girindrawardhana, Portugis, dan Runtuhnya Majapahit: Simfoni Akhir Sang Kerajaan Hindu-Jawa
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
A Yahya
07 - Jan - 2025, 10:31
JATIMTIMES - Pada awal abad ke-16, denting terakhir Kerajaan Majapahit yang pernah menguasai Nusantara mulai terdengar sayup. Suara itu datang bukan hanya dari dalam, tetapi juga dari perubahan geopolitik yang melanda dunia. Kesultanan Demak, yang baru berdiri dan kuat di bawah pimpinan Raden Patah atau Jin Bun, terus mendesak sisa-sisa kekuatan Majapahit.
Di tengah situasi itu, Girindrawardhana, penguasa Majapahit terakhir, terpaksa menatap ke barat—kepada Portugis, penguasa Malaka—dalam sebuah langkah yang dipenuhi kontradiksi antara harapan dan keputusasaan.
Baca Juga : Masa Transisi, Parkir Vertikal Kayutangan Heritage di eks DLH Masih Sepi Pengunjung
Ketika kekuasaan lama mulai runtuh, sejarah seringkali mencatat usaha terakhir yang tragis, tetapi tetap penuh dengan keteguhan hati. Begitu juga dengan Majapahit, yang pada masa senjakalanya berusaha menjalin koalisi dengan Portugis, sebuah penjajahan baru yang mulai mengakar di Asia Tenggara.
Majapahit di Ujung Tombak Demak
Sejak tahun 1478, Kerajaan Majapahit mulai terpecah akibat konflik internal. Dalam arus kemunduran itu, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya muncul sebagai penguasa yang mencoba merajut kembali kejayaan Majapahit. Namun, kondisi saat itu telah berubah. Kekuatan baru yang berlandaskan Islam muncul di pesisir Jawa. Kesultanan Demak di bawah Raden Patah, putra Raja Majapahit Dyah Kertawijaya, menjadi rival terbesar yang menggerus hegemoni Majapahit.
Demak dengan cepat menguasai kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa. Keterhubungan Demak dengan jaringan dagang Asia melalui perantara Tionghoa dan Timur Tengah membuat Majapahit semakin terisolasi. Sejarawan Prof. Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara mencatat bagaimana posisi Majapahit melemah seiring dengan dinamika perdagangan baru yang tidak lagi mereka kuasai.
Dengan armada dagang Demak yang semakin kuat, Girindrawardhana memandang Portugis sebagai penyelamat potensial. Malaka telah jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque, menjadikannya bandar strategis dalam perdagangan rempah-rempah dari Maluku ke Eropa.
Namun, hubungan Majapahit dengan Portugis bukan tanpa risiko. Orang-orang Tionghoa yang mendukung Kesultanan Demak mengawasi dengan cermat setiap kedatangan kapal Portugis di pantai utara Jawa. Kecurigaan bahwa Portugis menjadi kaki tangan Majapahit pun semakin kuat.
Koalisi Rahasia Majapahit dan Portugis
Girindrawardhana sadar bahwa situasi ekonomi rakyatnya terus memburuk. Jalan perdagangan tradisional yang dikuasai oleh Demak membuat Majapahit kehilangan sumber-sumber pendapatan. Upaya memperbaiki ekonomi pun dilakukan dengan menjalin hubungan dagang dengan Portugis, meskipun ini ibarat berjalan di atas bara api.
Portugis yang mulai rutin berdagang rempah-rempah dari Maluku ke Malaka menjadi mitra dagang potensial bagi Majapahit. Namun, Demak yang menganggap Portugis sebagai musuh Islam di Asia Tenggara tentu tak tinggal diam. Menurut Slamet Muljana, setiap kontak antara Majapahit dan Portugis langsung dilaporkan ke Raden Patah.
Hubungan ini pun mencapai titik krusial pada tahun 1517. Mengetahui adanya koalisi rahasia antara Majapahit dan Portugis, Raden Patah memutuskan untuk menyerang Majapahit secara terbuka. Serangan ini terjadi dengan kekuatan penuh dan berdampak besar pada Kota Majapahit. Tentara Demak membumihanguskan kota dan menjarah semua isi istana. Namun, di balik kekejaman itu, terdapat kisah menarik yang jarang diungkap sejarah.
Girindrawardhana selamat dari eksekusi langsung. Istri Girindrawardhana ternyata adalah adik tiri dari Raden Patah, yang membuat Sultan Demak itu menunjukkan belas kasihannya. Girindrawardhana diizinkan untuk tetap memerintah Majapahit sebagai bupati, namun dengan pengawasan ketat dari Demak.
Harapan Terakhir di Tengah Keruntuhan
Meski telah berada di bawah bayang-bayang Demak, Girindrawardhana tidak berhenti mencari cara untuk membebaskan dirinya. Hubungan dengan Portugis kembali diupayakan secara rahasia. Ia berharap bahwa Portugis dapat memberinya kekuatan militer untuk mengusir pengaruh Demak dari wilayah Majapahit.
Namun, situasi di Malaka sendiri tidak stabil. Pada tahun 1521, Sultan Yunus (Yat Sun), salah satu tokoh yang mencoba merebut kembali Malaka dari Portugis, wafat secara mendadak. Wafatnya Sultan Yunus menimbulkan krisis suksesi di Demak. Konflik ini turut memengaruhi stabilitas Jawa, tetapi tidak memberi keuntungan berarti bagi Girindrawardhana.
Majapahit, yang telah kehilangan taring militernya, tidak mampu memanfaatkan situasi ini. Upaya koalisi dengan Portugis justru semakin memicu kecurigaan dan serangan dari Demak. Pada akhirnya, sejarah mencatat bahwa Girindrawardhana hanyalah sosok penguasa yang berusaha menyelamatkan apa yang tersisa dari kebesaran Majapahit.
Antara Pengkhianatan dan Kenyataan Politik
Baca Juga : Ketentuan Pasfoto yang Benar untuk Daftar SNBT 2025
Langkah Girindrawardhana untuk bersekutu dengan Portugis sering dianggap sebagai tindakan pengkhianatan terhadap Nusantara. Namun, jika dilihat melalui kacamata geopolitik saat itu, langkah ini lebih mencerminkan keputusasaan sebuah kerajaan besar yang mulai runtuh.
Tindakan politik pada masa transisi kekuasaan sering kali sulit dinilai secara hitam putih. Langkah-langkah yang diambil penguasa saat itu, meskipun tampak kontroversial atau bertentangan dengan nilai-nilai tradisional, sering kali merupakan respons pragmatis terhadap tekanan politik dan militer yang dihadapi. Dalam konteks sejarah, keputusan semacam itu lebih mencerminkan upaya bertahan hidup daripada pengkhianatan atau kelemahan moral.
Girindrawardhana berupaya menjaga kekuasaan Majapahit dalam situasi yang penuh tekanan dari berbagai pihak: Demak sebagai kekuatan regional baru, para pedagang Tionghoa yang setia kepada Jin Bun, serta Portugis yang memiliki agenda kolonialnya sendiri. Di tengah pusaran konflik ini, Girindrawardhana memanfaatkan setiap celah yang ada, meski akhirnya gagal membendung arus sejarah.
Majapahit: Akhir Sebuah Era
Serangan Demak pada tahun 1517 dan pengawasan ketat terhadap Girindrawardhana menandai akhir dari Majapahit sebagai kerajaan besar di Jawa. Meskipun masih diizinkan memerintah sebagai bupati, Girindrawardhana tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Koalisi rahasianya dengan Portugis hanya mempercepat keruntuhan Majapahit sebagai entitas politik yang berdaulat.
Setelah wafatnya Girindrawardhana, Majapahit benar-benar hilang dari panggung sejarah. Kesultanan Demak menggantikan posisinya sebagai kekuatan utama di Jawa, membuka babak baru dalam sejarah Nusantara. Namun, jejak-jejak perlawanan terakhir Majapahit tetap menjadi cerita yang mencerminkan kompleksitas zaman.
Epilog: Gema yang Tak Pernah Hilang
Sejarah mencatat Girindrawardhana sebagai penguasa terakhir Majapahit yang berusaha menyelamatkan kerajaannya melalui langkah yang penuh risiko. Koalisi dengan Portugis, meskipun gagal, mencerminkan dinamika politik dan ekonomi pada masa itu.
Di balik setiap keruntuhan besar dalam sejarah, selalu terdapat kisah-kisah keberanian yang layak dikenang. Keberanian tersebut sering kali muncul dari usaha terakhir untuk bertahan di tengah tekanan yang tak terhindarkan, memberikan gambaran manusiawi tentang perjuangan melawan arus perubahan yang tak terelakkan.
Majapahit mungkin telah runtuh, tetapi semangatnya terus hidup dalam ingatan sejarah Nusantara. Girindrawardhana, dengan segala keputusan dan keterbatasannya, adalah simbol dari perjuangan terakhir sebuah era besar. Sejarah tidak selalu mencatat pemenang, tetapi juga mereka yang berani berdiri di tengah badai perubahan—seperti Girindrawardhana, yang berusaha menjaga api Majapahit agar tidak padam begitu saja.