Gelar 'Andi': Jejak Kolonial yang Bertahan sebagai Lambang Kebangsawanan Bugis-Makassar
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
21 - Sep - 2024, 02:19
JATIMTIMES - Pernahkah Anda mendengar nama yang diawali dengan gelar "Andi"? Di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, nama ini mungkin sudah tidak asing lagi.
Gelar "Andi" sering diasosiasikan dengan kebangsawanan, khususnya dalam konteks pernikahan dan uang panai’, yakni mahar tradisional yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki.
Baca Juga : Netralitas ASN Jadi Sorotan dalam Duel Petahana dan Mantan Bupati Blitar di Pilkada 2024
Bagi sebagian masyarakat, jika seorang perempuan Bugis memiliki gelar "Andi" di depan namanya, maka uang panai’ yang harus disiapkan umumnya lebih tinggi.
Namun, di balik nilai yang dilekatkan pada gelar ini, ada sejarah panjang yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.
Asal-Usul Gelar "Andi": Antara Tradisi dan Intervensi Kolonial
Meskipun banyak yang menganggap gelar "Andi" sebagai simbol kebangsawanan Bugis-Makassar yang autentik, nyatanya gelar ini bukan bagian asli dari tradisi suku Bugis-Makassar. Gelar ini muncul sekitar 100 tahun yang lalu, tepatnya pada awal abad ke-20, sebagai hasil intervensi dari pihak kolonial Belanda.
Lalu, bagaimana gelar ini pertama digunakan dan bagaimana ia menjadi begitu penting dalam struktur sosial masyarakat Bugis-Makassar?
Penelusuran sejarah oleh berbagai antropolog, termasuk Prof Mattulada dari Universitas Hasanuddin, mengungkap bahwa gelar "Andi" mulai diperkenalkan di masa penjajahan Belanda. Pada dekade 1930-an, Belanda menerapkan sistem pendidikan bagi bangsawan di Sulawesi Selatan. Ketika para siswa dari kalangan bangsawan ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah khusus seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School) atau OSVIA (Opleidingsschool Voor Inlandsche Ambtenaren), mereka diharuskan menyertakan silsilah keluarga yang menunjukkan status kebangsawanan mereka. Dalam proses ini, gelar "Andi" mulai diberikan kepada anak-anak bangsawan sebagai penanda status sosial mereka.
Pemberian gelar ini dipelopori oleh seorang misionaris Belanda bernama B.F. Matthews yang juga berperan penting dalam sistem pendidikan kolonial di Sulawesi Selatan. Bersama dengan tokoh setempat seperti Colliq Pujie, Matthews memiliki ambisi untuk menerapkan sistem Standen Stelsel di Sulawesi Selatan, mirip dengan apa yang sudah diterapkan di Jawa. Standen Stelsel adalah sistem strata sosial di Hindia Belanda yang membedakan antara bangsawan, orang kebanyakan, dan kaum budak...