JATIMTIMES - Tak banyak yang sadar, penyakit pneumonia masih menjadi ancaman senyap bagi masyarakat. Dianggap sekadar batuk berkepanjangan atau demam biasa, padahal di baliknya bisa terjadi peradangan serius pada paru-paru yang berujung fatal.
"Pneumonia itu infeksi yang menyerang jaringan paru. Kalau tidak segera ditangani, bisa menyebabkan kadar oksigen turun drastis," terang dr. Galih Radityo Prabowo, dokter RSI Unisma Malang dalam sebuah podcast edukasi kesehatan belum lama ini.
Baca Juga : PLN UP3 Malang Jalin Koordinasi Lintas Sektoral, Upaya Cegah dan Penanganan Bencana
Ia menjelaskan, paru-paru yang terinfeksi akan kehilangan kemampuan menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, penderita mengalami penurunan saturasi oksigen, tubuh terasa lemas, mudah pusing, bahkan bisa sampai kehilangan kesadaran. “Saturasi normal itu di atas 95 persen. Kalau turun di bawah 90 sudah berbahaya. Apalagi kalau sampai 50-an, itu butuh bantuan alat pernapasan dan oksigen tekanan tinggi,” ujarnya.

Kasus pneumonia bisa menyerang siapa saja. Pada lansia atau pasien stroke, risiko jauh lebih tinggi karena aktivitas paru-paru tidak maksimal. “Pasien yang hanya bisa berbaring total di rumah mudah sekali terkena pneumonia, karena paru-parunya jarang mengembang sempurna,” kata dr. Galih.
Ia menambahkan, pneumonia juga kerap muncul setelah seseorang mengalami infeksi saluran pernapasan yang tidak sembuh-sembuh. “Biasanya gejalanya batuk berdahak kuning atau hijau, disertai demam dan sesak napas. Kalau itu terjadi, jangan tunda ke dokter. Perlu dilakukan rontgen untuk melihat apakah paru-parunya sudah berkabut,” jelasnya.
Istilah “paru berkabut” kini mulai akrab di telinga masyarakat sejak masa pandemi COVID-19. Hasil rontgen yang tampak putih menunjukkan paru telah dipenuhi peradangan. “Kalau sudah begitu, suplai oksigen ke otak terhambat. Saturasi bisa drop tiba-tiba, dan itu sangat berisiko pada nyawa,” ujarnya.
Menurut dr. Galih, mencegah pneumonia tak harus dengan langkah rumit. Hal sederhana bisa dilakukan setiap hari: menghindari rokok dan asapnya, memakai masker di tempat berpolusi, menjaga asupan gizi, serta mencukupi kebutuhan cairan tubuh. “Jangan lupa olahraga ringan. Jalan kaki 30 menit tiap pagi sudah cukup melatih paru tetap aktif,” sarannya. Waktu terbaik untuk berolahraga, lanjutnya, adalah pagi hari karena udara masih bersih dan belum tercemar polusi kendaraan.
Selain gaya hidup, lingkungan juga punya peran besar. Dr. Galih menyoroti kebiasaan masyarakat yang masih gemar membakar sampah. “Asap hasil pembakaran itu beracun bagi paru, terutama anak-anak dan lansia. Banyak yang belum sadar dampaknya,” katanya. Ia menyebut, kebiasaan sederhana seperti memilah sampah dan menunggu petugas pengangkut lebih aman daripada membakar. “Kita harus belajar dari hal-hal kecil. Karena dari situ, pencegahan penyakit besar dimulai,” tambahnya.
Baca Juga : Inilah 5 Crypto Layer-1 Solid untuk Investasi Jangka Panjang di 2025
Saat disinggung kondisi udara Kota Malang, dr. Galih mengaku cukup prihatin. “Kalau dibilang sehat, ya dalam tanda kutip. Kendaraan makin padat, polusi meningkat. Tapi semua bisa dikendalikan kalau masyarakatnya sadar dan mau menjaga lingkungan,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa edukasi kesehatan tak bisa berhenti di rumah sakit. Tenaga medis, puskesmas, dan masyarakat harus saling terhubung dalam membangun kesadaran tentang pneumonia. “Dulu, waktu pandemi, orang baru sadar pentingnya paru-paru. Sekarang, saat situasi sudah tenang, jangan sampai lengah,” pesannya.
Pneumonia, katanya, memang tak selalu menimbulkan gejala berat di awal. Tapi ketika sesak dan demam datang bersamaan, itu tanda tubuh sedang berjuang keras. “Segera periksa. Jangan tunggu parah. Karena menjaga paru bukan sekadar menjaga napas, tapi menjaga hidup itu sendiri,” pungkas dr. Galih Radityo Prabowo.