Istilah terorisme sering dikaitkan dengan gerakan keagamaan. Padahal, dalam kenyataannya, teror yang terjadi kadang tidak berhubungan dengan agama.
Hal ini disampaikan oleh Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah. AMAN adalah suatu lembaga aktivis perempuan dan anak global.
Maka untuk memisahkan istilah terorisme yang sering dikaitkan dengan gerakan keagamaan, pihaknya menggunakan istilah ekstremisme.
"Karena walau sering dikaitkan dengan agama, buktinya teror juga dilakukan orang di negara Barat dan tidak berhubungan dengan agama," jelas Ruby.
Ruby menjadi pembicara utama dalam Kursus Singkat “Perempuan dan Pencegahan Ekstremisme” yang dihelat Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki/UIN Malang) di Ruang Pertemuan Gedung Rektorat lantai 3 belum lama ini.
PSGA bekerja sama dengan AMAN untuk berbagi wawasan mengenai ekstremisme, juga pencegahan dan penanggulangannya.
Dia menjelaskan, di zaman modern ini, bentuk terorisme atau ekstremisme pun semakin berkembang. Ada satu ekstremisme yang tidak disadari sering dilakukan oleh banyak kalangan.
"Salah satunya ialah rasa kebencian," ungkapnya.
Banyaknya kritik yang dilontarkan pada pemerintahan oleh sekelompok orang terkadang keluar dari tujuan awal kritik itu sendiri.
"Awalnya ingin memberi masukan, namun berujung pada hal yang negatif," terang dia.
Pendapat yang dikemukakan dengan cara yang tidak benar akhirnya menjadi sebuah gerakan menggiring opini yang juga meracuni pikiran kaum awam. Akibatnya, kehidupan bernegara diliputi rasa negatif.
Di sinilah, menurut Ruby, peran sebuah organisasi non-ekstremisme untuk mengedukasi masyarakat cukup vital.
"Kita ajarkan untuk membedakan kritik dan benci," katanya.
"Suatu kritik harusnya membuahkan hasil yang positif. Sebaliknya, rasa benci yang ditunjukkan secara kontinyu akan menimbulkan fitnah yang besar," tandasnya kemudian.