Percakapan
*dd nana
-di tepi
Kita, akhirnya saling berbicara
Kau yang purba dan aku yang berumur menggapai senja.
Dialog tepi yang masih saja kelam
tanpa riak, tanpa alun
hanya debar yang debur dalam sepasang mata
kita yang saling menatap.
Aku meminta percakapan hangat
tapi kau masih saja menyeret masa lalu
Purba yang menyakitkan dadaku yang terbuka.
Sakit, ucapmu, adalah cerita abadi setiap pencari
sepertimu yang tak seharusnya menunggu
karena kau meminta titik yang tak
dan kau tahu itu.
Di meja, tanganku tertangkup dan masih memandangmu
Tangan-tangan hujan mencoba melukiskan sesuatu di tubuhnya
yang tak pernah aku fahami sampai kini.
Pengetahuan, ucapku, kerap membodohiku
maka aku menunggu percakapan ini, denganmu
yang rela meremukkan raga untuk sebuah hidangan
untuk memberikan rasa hangat yang getir, rasa pahit yang dicari.
Bukankah setiap kita akan meminta titik pada waktunya ?
Parasmu mulai beriak walau senyap masih kau tangkupkan
pada kepurbaan hitam yang kau seret di tubuh waktu.
Apakah kau mencintaiku? tanyamu serupa gerimis
Aku yang kikuk hanya mengangguk.
Cinta, ucapmu, serupa bebiji kopi yang dilegamkan hitam
sebelum ditumbuk dan dihancurkan menjadi bubuk
dididihkan panas air mata.
Dan hanya yang purba yang kuat menanggungnya
Kau, tuan, hanya punya usia sedepa.
Apakah kau mencintaiku, tanyaku di tepi umur
gerimis yang mulai menguap dan menjelma dingin yang menyusup.
Kau, dengan mata sempurna itu menatapku dan berkata
"Tak cukupkah aku menjadi rasa hangatmu. Jangan meminta yang tak bisa kau rawat, tuan," bisikmu.
- di tengah siang hari
Matahari merayakan sesuatu
di kepalaku yang dihuni para hewan yang tak
pernah dilukiskan dalam buku pelajaran dan tayangan
televisi manapun.
Piaraan di kepalaku menari-nari
sampai batas tepi mereka gerah dan mendobrak
kulit kepalaku, berhamburan menuju jalanan
berlomba kecepatan dengan berbagai kendaraan.
Dan aku sang tuan hanya mampu melihat itu semua
Dengan tubuh terbakar dan rasa penyesalan yang bukan
dosa. Hanya penyesalan.
Bahwa segala yang berbiak di kepalaku akhirnya tak jadi
tugu hidupku.
Mereka bergeletakan dihajar kenyataan di jalanan yang punya ceritanya sendiri.
yang tak bisa aku nisankan, tak bisa jadi kisah di tepi senja usia.
*hanya penikmat kopi lokal