Setelah Kamis (2/7/2017) lalu mangkir alias tidak menghadiri panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, hari ini (9/11/2017) Ketua Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Kota Malang Jarot Edy Sulistyono (JES) kembali diminta datang ke Jakarta.
Pemeriksaan terhadap mantan ketua Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Malang tahun 2015 itu terkait kasus dugaan rasuah dalam pembahasan APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015.
Seperti diketahui, Jarot telah ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap oleh KPK pada 11 Agustus lalu. "Hari ini JES dijadwalkan untuk diperiksa sebagai tersangka," ujar Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha.
Pekan lalu, JES dijadwalkan menjalankan pemeriksaan bersama mantan Ketua DPRD Kota Malang M Arief Wicaksono (MAW). Namun, saat itu hanya Arief yang datang memenuhi panggilan. Usai pemeriksaan, Arief langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Priharsa sendiri mengaku belum mengetahui apakah nantinya Jarot juga akan langsung dibui. Sebab keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan penyidik saat proses pemeriksaan berlangsung.
"Belum ada informasi (soal penahanan). Nanti berdasarkan pertimbangan penyidik, apakah perlu adanya penahanan atau tidak," ujarnya melalui pesan WhatsApp.
Pertimbangan penahanan, lanjut Priharsa, jika penyidik memiliki perimbangan subyektif dan obyektif.
"Pertimbangan obyektif itu, dugaan pidananya dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Kalau subyektif, dikhawatirkan tersangka melarikan diri, menghilangkan bukti, atau mengulangi perbuatannya," tambahnya.
Dalam kasus APBD Perubahan Kota Malang tahun anggaran 2015 KPK menetapkan Jarot sebagai tersangka pemberi suap.
Dalam sangkaannya, penyidik KPK menduga Jarot memberikan suap kepada Arief sebesar Rp 700 juta untuk melancarkan pembahasan program pembangunan infrastruktur.
Sebagai pemberi, Jarot disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 64 kuhp jo pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP.
Pasal itu yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.